REFLEKSI HUKUM

LAMPU MERAH DAN DISIPLIN LALULINTAS
(20 Push Up untuk Pelanggar Lampu Merah)

Minggu (09/11), Pondok Pinang, Jakarta Selatan News-.

Angkot D01 warna biru langit meluncur gontai dari arah pasar Kebayoran Lama. Sesekali angkot berhenti tiba-tiba di setiap gang yang dilewatinya. Seakan mengerti kehendak sopir tuk memastikan tidak ada seorangpun yang bertujuan ke arah Ciputat diserobot angkot lainnya, buru-buru sekali gas menyalak. Kepulan asap kenalpotpun menghintamkan jalan menandai jalanan yang telah dilewatinya.

“Tarikan lagi sepi, masak sampai sejauh ini baru ada 3 penumpang diangkotku”, gerutu sang sopir sambil menatap kaca pengintai penumpang yang terletak di atas kepalanya. “Benar juga hanya ada 3 orang”, sahutku dalam hati, sambil memelototi para penumpang yang terdiri dari aku, seorang ibu separuh baya yang tampaknya menghabiskan uang banyak untuk mengusir kulitnya yang mulai agak keriput dengan mack up tebalnya, dan seorang bapak yang jelas sekali merasa capai setelah semua dagangannya habis terjual di Pasar. Tampaknya ia telah berjualan sedari tadi pagi buta, melihat dua keranjang besar sayurnya yang kosong dan telah berganti isi dengan sembako dan dua kiloan buah jeruk segar.

Jakarta memang tak pernah bosan dengan tradisi macetnya. Salip menyalip sudah biasa, siapa yang mau mengalah kalau uang setoran belum tertutupi?. Disiplin lalulintas, rambu, apalagi polisi, gampanglah nanti, ”urusan belakang itu”, demikian paham jamak di kalangan sopir angkot. Hingga tak heran para polantas sering dibuat marah kebelingsatan oleh ulah sopir yang dengan sekenanya berhenti di zona merah stop, ataupun semaunya menyerobot lampu merah yang nyata-nyata melarang setiap kendaran melaju. Lajur Bus trans Jakarta pun ibarat jalur khusus untuk mereka, karena lebih sering dilewati mereka dari pada bus Trans Jakarta sendiri.

Namun apakah pelanggaran fital yang menjadi tidak fital lagi karena saking biasanya dilanggar ini selamanya bisa disiasati?. “Polisi juga manusia biasa, butuh makan dan memiliki hasrat menikmati kepuasan sensasi rokok kretek Dji Sam Soe disela-sela hirupan rasa pahit-getirnya secangkir kopi hitam”. “Jadi semuanya itu adalah urusan kompromi” tandas setiap kepala para pelanggar.

Tiba-tiba angkot yang telah membawaku jauh dari Kebayoran Lama itu mencicit, mengeluarkan jeritan miris dari keempat rodanya. Roda-roda yang sudah mulai botak, namun tidak kehilangan kekokohannya ini tak sempat bersiap untuk berhenti, karena tiba-tiba seorang polisi telah berkacak pinggang di depannya, menfungsikan peluit yang dari mulai ia bertugas telah melingkar di pundak kanannya untuk menghentikan laju kita.

“Apalagi sih bang?”. Ibu-ibu setengah baya dengan suara ketus merespon aksi berhenti yang tiba-tiba ini. Nampaknya ia belum tahu kalau alasan berhenti kali ini karena dihentikan Polisi. Yang ia pikir, berhentinya D01 kali ini menambah banyaknya rekord “ngetime” tanpa alasan seperti sebelumnya. “O… ada Polisi y”, emang kenapa sih bang?”.

Di luar tampak obrolan Polisi-Sopir Angkot. Namun aneh, Bapak Petugas itu tak menghendaki sang sopir lebih mendekat. Dengan mengangkat tangan dan menunjuk arah memutari motornya, polisi menghardik. Dengan ketaatan, sang sopir memutar dan setibanya di lokasi yang dikehendaki Pak Polisi, yang tampak oleh kami adalah Push Upnya sopir angkot.

Sambil berjalan kembali ke angkotnya, senyum kecut keluar dari bibir si sopir. Antara malu dan sadar, sopir ini berujar, “Di suruh Push Up 20 kali”, entah kepada siapa ujaran ini ditujukan, karena di antara kami (penumpang) belum seorangpun yang membuka pertanyaa. “Emang kenapa?” seorang nenek yang paling diam karena kantuknya semenjak naik dari Pasar Kebayoran ini tak pelak bertanya. “Tadi, melanggar lampu merah”, jawaban yang mendiamkan kita semua.

“Oalah saiki hukumane push up toh, kanggo hukuman bagi pelanggar lalu lintas!.” batinku dalam hati.

Entah karena PERDA lalu lintas atau memang karena kreatifitas Bapak Polisinya. Yang jelas, yang membuatku salut adalah keinginan satu Polantas ini untuk menyadarkan tindak pelanggaran yang selama ini dianggap biasa, patut diacungi jempol.

Tujuan punishment yang ditunjukkan Bapak Polisi dalam kasus inilah yang seharusnya dijadikan acuan kerja oleh setiap aparatus negara. Bahwa punishment yang efektif bukanlah pada bentuknya yang memberatkan, tetapi pada efektifitas penyadaran yang dihasilkannya.

Peristiwa ini nyata, dan terjadi sepulang saya dari Rumah saudara, Mas Aak (Ibnul A’roby –wartawan Indopos), di Kampong Baru, Kebayoran Lama, Minggu 09 Nopember 2008. Beliaunya sendiri (Mas Aak) kini, tinggal di Cawang mulai 15 Nopember 08 yang lalu. Sementara penulis kini ada di Sangata, Kutai Timur Kaltim, untuk memburu cita-citanya, sebagai dosen di STAI Sangata.

Comments

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN

SOAL UTS Ushul Fiqih