HAK PENDIDIKAN DAN HAK PEMERATAAN MUTU PENDIDIKAN


HAK PEMERATAAN MUTU PENDIDIKAN *

Mustatho’, M.Pd.I

Pendidikan Bermutu Kemana Engkau?

Hasil dari sebuah sistem pendidikan semestinya terwujud pada tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik, berhasil dan produktif. Pendidikan kemudian menjadi satu-satunya media guna membentuk masyarakat berkembang menuju piramida tertinggi dalam pola relasi kehidupan yang ada di dunia. Manusia terdidik adalah manajer bagi terciptanya tatanan masyarakat kota (civil society/ masyarakat madani). Pertanyaannya, seberapa jauh pendidikan benar-benar bisa berperan dalam fungsi idealnya?, yakni untuk menjadi lembaga yang mampu berperan produktif dalam bingkai kaderisasi intelektualitas dan mentalitas manusia menjadi insan kamil (super man, menurut Nietzhe ) dengan pola yang sistemik dan konstan. Pendidikan dimanapun –termasuk di Indonesia, sering kali terjebak kedalam fungsi teknisnya yakni memproduksi sesuatu secara instan dengan goal (tujuan) nilai guna dan nilai pakai yang berorientasi pasar (market). Pendidikan pada akhirnya menjadi makelar yang mencetak lulusan sesuai dengan pesanan dan dengan system titipan dari korporasi besar. Standart mutu pendidikan menjadi timpang dan bias kepentingan. Pendidikan menjadi ajang tarik ulur kepentingan; entah oleh politik atau korporasi global.

Problem pengelolaan pendidikan dan tujuannya seperti yang disinggung di atas, di Indonesia menjadi persoalan yang esensial dan merupakan akar tunggang dari persoalan pembangunan bangsa yang sampai kini belum teratasi dengan baik. Kunci operasional untuk menguraikan persolan ini ada dalam pendidikan dengan peningkatan dan pengembangan/ pemberdayaan pendidikan bermutu, merata bagi setiap satuan pendidikan dan semua warga Negara Indonesia. Karena pendidikan yang bermutu dan pemerataan mutu pendidikan adalah hak bagi setiap warga Negara di dunia, termasuk di Indonesia.

Pemerintah Indonesia melalui program-program pendidikannya sebenarnya telah berusaha untuk terus memperbaiki system pendidikan dan system mutu muatan materialnya (kurikulum). Kurikulum pada dasawarsa belakangan ini telah mengalami 4 berubahan (CBSA, 94, KBK dan KTSP), tampak sekali hal ini dilakukan sebagai usaha untuk memeperbaiki system dan mutu materi pendidikan di Indonesia. Namun alih-2 mencapai sasaran, pembangunan pendidikan sekedar nampak pada bangunan fisik saja. Sementara, tingkat pengembangan sumber daya manusia (SDM) belum mencapai kemajuan yang signifikan. Guru tidak menunjukkan peningkatan peran, demikian juga dengan masalah pemerataan mutu pendidikan belum memiliki implikasi keadilan. Sebab, masyarakat tidak akan pernah terpenuhi rasa keadilannya, manakala pemerataan pendidikan sebatas pada kesempatan untuk masuk sekolah dan tidak pada perolehan kesempatan berpendidikan yang bermutu. Pemerataan pendidikan yang bermutu tidak boleh melihat dari mana peserta didik datang, dan dalam kondisi perekonemian keluarga yang seperti apa. Semestinya pendidikan bermutu menjadi hak bersama (educational of quality for all).

Pada titik mendapatkan persamaan pendidikan yang bermutu sebagai hak yang sama inilah yang dalam banyak masyarakat masih belum terpenuhi. Banyak sekolah, utamanya madrasah bisa disebutkan dengan berkelakar sebagai lembaga pendidikan "la yamutu wa la yahya" –untuk menyebut jenis sekolahan yang tidak bermutu dan tidak layak. Fenomena ini mengerucut hamper merata pada semua sekolah yang berlabel madrasah terlebih sekolah madarasah swasta. Dari sinilah permasalahan tulisan ini, bahwa ada kesenjangan baik kewajiban terhadap hasil (obligation of result) dan kewajiban terhadap tindakan (obligation of conduct) yang semestinya ada. Kewajiban terhadap hasil timpang dalam dataran bahwa lembaga pendidikan/sekolah, yang semestinya semua tingkat pendidikan mampu menjadikan semua peserta didiknya sebagai outpun yang sesuai dengan standart, dan dikelola dengan standart nasional sesuai dengan UU no 19/2005, ternyata masih mengenaskan. Kedua, ternyata kewajiban terhadap tindakan (obligation of conduct) belum menyentuh, merata ke semua lembaga pendidikan, utamanya madrasah. Untuk itu perlu digagas adanya pendidikan yang murah bahkan gratis namun tetap bisa menjaga mutu dan kualitas kelulusannya.

Pendidikan Gratis dan Bermutu dari Siapa?

Melalui UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan kemudian dikukuhkan dengan meratifikasi hak-hak Ecosos dengan UU no 19/2005 tentang pendidikan, sebenarnya bangsa Indonesia –dalam hal ini pemerintah, telah memenuhi kewajiban terhadap tindakan (obligation of conduct) akan hak semua masyarakat untuk memperoleh pendidikan secara layak dan bermutu. Pengakuan atau ratifikasi hak-hak ECOSOC oleh suatu negara, pada dasarnya adalah pernyataan komitmen formal negara untuk memenuhi hak-hak ECOSOC warga negaranya. Dengan demikian negara wajib menjadikan tugas pemenuhan hak-hak ECOSOC tersebut sebagai suatu agenda dalam pembangunan yang dilaksanakan secara konsisten. Artinya negara wajib melakukan harmonisasi, dalam bentuk mainstreaming pemenuhan hak ECOSOC dalam rencana pembangunan, anggaran, peraturan perundangan, serta implementasi dalam pelayanan publik ataupun penyediaan barang/jasa lainnya.

Pendidikan adalah hak dasar kemanusiaan yang harus dapat dinikmati secara layak dan merata oleh setiap masyarakat. Bahwa pengertian hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun; maka Negara sebagai institusi resmi wajib melaksanakannya, memfasilitasi dan meniadakan segala penghalangnya. Untuk itu, pendidikan yang bermutu, sebagaimana yang tercantum dalam UU no 19 tahun 2005 yang meliputi:

a. standar isi; b. standar proses; c. standar kompetensi lulusan; d. standar pendidik dan tenaga kependidikan; e. standar sarana dan prasarana; f. standar pengelolaan; g. standar pembiayaan;dan h. standar penilaian pendidikan, adalah hak setiap masyarakat (warga negara) usia belajar.

Dengan direalisasilannya UU no 20 tahun 2003, yang pada pasal 29 menyebutkan: “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negera (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dan di Undangkannya UU no 19 tahun 2005 tentang standart pendidikan Nasional adalah realisasi kewajiban terhadap tindakan (obligation of conduct) yang harus dilaksanakan oleh pemerintah.

Sebagai pembanding, sebelum anggaran pendidikan 20 % dari APBN ini dipenuhi melalui keputusan presiden tanggal 03 Agustus 2008, pada tahun 2002 dari APBN pemerintah hanya menganggarkan sektor pendidikan Rp. 11.552 triliun; tahun 2001 sebesar Rp. 11,5 triliun, dan pada tahun 2000 anggaran pendidikan sebesar Rp. 11,3 triliun yang semuahnya kurang dari 10% versi perhitungan pemerintah. Sementara anggaran progresif pendidikan 20% dari APBN sesuai UU No.36 tahun 2004 tentang APBN TA 2005 dan UU No.13 tahun 2005 tentang APBN TA 2006 hanya dapat direalisasikan secara bertahap sampai tahun 2009. Untuk 2004-2005 sebesar 6,6%, 2005-2006 sebesar 9,29%, 2006-2007 sebesar 12,01%.

Kewajiban terhadap tindakan ini kemudian berimplikasi kepada kewajiban pemerataan pendidikan bermutu, sesuai dengan standart pendidikan nasional, menyeluruh dan bisa dinikmati pada semua level pendidikan dan semua tempat belajar. Tidak hanya di kota, tetapi juga di setiap pelosok desa. Anggaran pendidikan 20 % adalah sarana pengembang ke arah tercapainya pendidikan yang bermutu, tentunya dengan pembenahan pada semua aspek pendidikan yang sampai saat ini belum terpenuhi. Guru (pendidik) yang belum kompeten, standart proses dan kurikulum, serta fasilitas belajar yang di banyak tempat masih sangat terbatas, serta pembenahan manajement sekolah sesuai dengan amanah dan isi ratifikasi UU ecosoc.

Penutup dan Rekomendasi

Menurut penulis, ada beberapa pemikiran yang dapat dijadikan pertimbangan sebagai solusi. Pertama, pemerintah sebagai pengambil kebijakan pendidikan, sudah sepatutnya menanggung biaya minimal pendidikan yang diperlukan anak usia sekolah/madrasah tingkat dasar dan lanjutan baik negeri maupun swasta yang diberikan secara individual kepada siswa. Dan dana yang diperoleh dari masyarakat dapat digunakan untuk membiayai kegiatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Kedua, adanya optimalisasi sumber daya manusia pendidikan yang sudah tersedia, antara lain melalui pelaksanaan double shift, pemberdayaan sekolah lanjutan terbuka dan pembukaan kelas jauh, tanpa mengorbankan mutu pendidikan dan mengganggu kelangsungan hidup sekolah-sekolah swasta di sekitarnya. Ketiga, sekolah-sekolah swasta hendaknya diberdayakan potensinya melalui bantuan dan subsidi dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran siswa dan optimalisasi daya tampung yang tersedia. Ke-empat, daerah-daerah yang membutuhkan pembangunan gedung sekolah baru dan ruang kelas baru hendaknya diprioritaskan untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Tetapi disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing, sehingga tidak menyingkirkan keberadaan sekolah-sekolah swasta yang ada. Kelima, memberikan perhatian khusus bagi anak usia sekolah dari keluarga miskin, masyarakat terpencil, kumuh dan masyarakat daerah yang sedang mengalami konflik dan bencana alam; dengan memberikan beasiswa pendidikan kepada mereka. Ke-enam, meningkatkan partisipasi anggota masyarakat dan pemerintah daerah untuk ikut serta menangani penuntasan wajib belajar (wajar) 9 tahun.

Pada dasarnya pendidikan bukanlah tanggung jawab pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat secara parsial, tetapi merupakan tanggung jawab kolektif. Sebab, pendidikan adalah hak dan milik bersama. Tidak ada manusia atau istitusi yang berhak memonopoli pendidikan. Siapa saja berhak mendidik dan dididik, mengajat dan diajar. Namun demikian Pemerintah sebagai pengambil kebijakan umum pendidikan harus memulainya dari adanya political will dengan menjamin pemerataan kesempatan bagi seluruh anak dan semua lapisan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan sebagai hak mereka. Peran ini bisa dilakukan melalui perumusan kebijakan umum, pelayanan teknis, dan memonitor program secara regular. Demikian, wassalam.

* Diolah dari berbagai Sumber.
Mustatho’, Staff Pengajar di STAIS Kutai Timur
http://www.mustathok.blogspot.com / http:www.staiskutim.ac.id
email. tatok.m@gmail.com (081254447281)

Comments

anam said…
salam knal Gan..
mampir balik ya...!!
Mustatho said…
Salam kenal jua.btw diminta mampir kemana nie???

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN

SOAL UTS Ushul Fiqih