MAULID NABI AJARAN ISLAM YANG PERLU DIPERTAHANKAN

MENEPIS TUDINGAN BID’AH PADA PERINGATAN MAULID NABI SAW
Dimuat di Radar Sangatta 29/1/2013
Oleh Mustatho’, S.H.I., M.Pd.I

Peringatan maulid nabi di sana-sini telah diperingati, kebanyakan umat Islam memperingatinya bertepatan dengan tanggal kelahiran Nabi yakni 12 rabiul awwal namun sebagian yang lain memperingatinya disesuaikan dengan kelonggaran dan perencanaan waktu yang mereka miliki. Hal ini tidaklah menjadi persoalan yang besar yang harus dipersoalkan keabsahannya, karena terkait dengan Kelahiran nabi Muhammad SAW sendiri dalam dunia Islam ada dua pendapat, yakni yang pertama jumhur (kebanyakan golongan) sunni berpendapat tanggal lahir nabi SAW bertepatan dengan peristiwa pasukan Gajah yang hendak menyerang ka’bah pada tanggal 12 Rabiul Awwal. Pendapat yang kedua dari kaum syiah yang berpendapat tanggal lahir Muhammad SAW adalah jatuh pada tanggal 17 Rabiul Awwal.

Perbedaan tanggal lahir nabi Muhammad SAW ini tidak menjadi persoalan serius dengan dua alasan pertama bahwa setiap kelahiran tokoh bersejarah selalu memunculkan banyak prespektif, hal ini bisa jadi karena sistem kalender dan catatan administrative yang saat itu belum dimiliki dengan baik. Kedua meski memperingati kelahiran nabi dengan waktu yang berbeda, baik yang memperingati pada tanggal 12 maupun 17 rabiul awwal keduanya sepakat bahwa peringatan maulid nabi Muhammad SAW tidaklah dilarang agama kaena memperingatinya adalah sebentuk ekspresi rasa cinta dan rindu kepada pribadi agung Muhammad SAW. Persoalannya adalah, masih ada sebagian kaum muslim yang melarang peringatan ini dan menudingnya sebagai bid’ah (sesat).


Tudingan bid’ah pada peringatan maulid Nabi Muhammad SAW ini diasumsikan mereka dengan dua argumentasi bahwa pertama pada zaman Nabi Muhammad masih hidup beliau (Muhammad sendiri) tidak pernah memperingatinya, kedua bahwa peringatan ini menyama-nyamakkan (tasyabuh) dengan peringatan kelahiran yesus (natal). Dua Argumentasi ini ditopang dengan dua topangan dalil pula pertama segala sesuatu yang tidak pernah ada pada zaman nabi adalah sesat “…kullu bid’ah dhalalah, wa kullu dhalalatin dakhalan nar…” yang artinya segala sesuatu yang bid’ah adalah sesat dan segala yang sesat akan masuk neraka. Kedua memirip dan menyamakan dengan perbuatan orang kafir adalah dosa “man tasyabbaha bi qaumin fahuwa min hum” yang artinya barang siapa menyerupai suatu bangsa maka dia termasuk bagian dari bangsa tersebut; dan peringatan maulid nabi ini dianggap menyerupakan dengan natal di agama nasrani (katolik dan Kristen).

Tempatkan Bid’ah pada Tempat yang Semestinya

Istilah bid’ah adalah segala sesuatu yang tidak ada dan tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan pengertian ini maka terrna bid’ah akan berkonsekuensi pada pengharaman setiap hal yang tidak pernah ada dan belum diajarkan oleh nabi SAW baik persoalan dunia (social) maupun persoalan akhirat (ibadah). Karena keumuman makna bid’ah ini jumhur ulama’ syafi’iyaah menggolonggkan bid’ah pada dua golongan, yakni bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah sayyi’ah (bid’ah yang buruk). Bid’ah hasanah adalah segala sesuatu yang mempunyai kemanfaatan bagi umat manusia meskipun ia belum pernah ada pada zaman Nabi Muhammad SAW; bid’ah hasanah ini juga terbagi dua yakni bid’ah hasanah fi umuri dunya (persoalan dunia) seperti penggunaan alat-alat untuk menunjang kehidupan (mobil, pesawat, dll yang belum pernah ada pada zaman nabi). Pada bid’ah ini manusia tidak bisa mengelak memakainya karena ia adalah keniscayaan hidup dan merupakan sunatullah (hukum Allah) sebagaimana kaidah fikih “taqhayurul ahkam bi taghayyuril azlam wa makan” yang artinya perubahan hukum bisa terjadi karena perubahan zaman, kondisi dan tempat.

Bid’ah hasanah yang kedua ada pada bidang ibadah, namun ibadah ghoiru mahdoh (ibadah umum -social dan kemanusiaan) bukan ibadah mahdoh (ibadah khusus kepada Allah). Ibadah ghoiru mahdoh adalah ibadah-ibadah yang menekankan pada nilai maslahah dan mafsadah (positif dan negatifnya) sebagaimana dalil nabi “al-Aslu fil amri lil mu’amalah al-Ibadah” yang artinya hukum asal untuk persoalan-persoalan muamalah adalah boleh. Sementara ibadah mahdoh adalah ibadah hukmiyah yang mutlak ada tuntunan dan syariatnya seperti shalat lima waktu, zakat haji yang mana ibadah ini berlaku hokum HARAM menambah dan menguranginya, dalam kaidah fikih dikenal dengan “al-ashlu fil asy’ya lil ibadah alharam”, yang artinya hokum asal untuk persoalan ibadah adalah haram. Dari argumentasi ini, persoalan maulid nabi masuk pada kategori bid’ah hasanah fi ibadah ghoiru mahdoh wa muamalah (bid’ah pada persoalan ibadah umum dan muamalah) hukumnya boleh karena memperingati maulid nabi mampu menimbulkan kecintaan kepada Nabi sekaligus untuk tarbiyah (pendidikan) bagi generasi muda muslim mengenal Nabi mereka.

Alasan kedua mengharamkan maulid dengan tasyabuh (menyerupakan) dengan natal; juga kurang berdasar karena dua hal. Pertama, bahwa peringatan mauled nabi ini bukanlah sebentuk kultus (pendewaan) kepada Nabi Muhammad, dimana Natal (kelahiran yesus) jelas-jelas berupaya mengkultuskan yesus ketingkat ketuhanan. Sementara mauled Nabi adalah upaya mencontoh dan meneladani semua kebaikan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Kedua, meyerupakan sendiri sebenarnya boleh dan syah-syah saja sebagaimana nabi juga tidak pernah melarang menemukan ilmu dari semua sumber bahkan sampai ke negeri cina, kata nabi “uthlubul ilma walau bis shin” yang artinya tuntutlah ilmu sampai ke negeri cina. Yang perlu diingat juga adalah alasan penyerupaan (tasyabuh) bisa terjadi jika yang diserupai dan yang menyerupai memiliki dan memenuhi dua unsur yang sama; yakni unsur forma dan materialnya. Para wali di Indonesia pernah menggunakan unsur formal (wayang –budaya hindu) sebagai sarana dakwah Islam namun unsur material (isi dakwah) dirubah mejadi islami. Sementara mauled nabi unsur formalnya jelas berbeda lebih-lebih unsur materialnya yang merupakan perwujudan kecintaan kepada Rasul Muhammad SAW.

Terakhir, penulis menghimbau seyogyanya kaum muslimin yang memperingati mauled Nabi tidak pelu was-was dan gelisah karena tudingan bid’ah ini, karena jelas-jelas peringatan maulid adalah hak umat Muhammad untuk mengekspresikan cinta kepada junjungannya. Kedua bagi yang menganggap bid’ah semestinya tidak menggemborkan tudingan tersebut dan tidak menganggap semua yang menyelenggarakan mauled nabi sebagai sesat karena prespektif satu kelompok umat tidak bisa dipaksakan kepada kelompok yang lain sebagaimana kadiah ushul “al-ijtihadu la yunqadu bil ijtihadil akhar” yang artinya satu hasil ijtihad tidak bisa menggugurkan hasil ijtihad yang lainnya. Jelas-jelas anggapan bid’ah pada peringatan mauled Nabi hanya sebuah produk ijtihadi dari kaum muslim yang tidak mau bemaulid Nabi. Demikian wa Allahu a’lam.

Mustatho’, S.H.I., M.Pd.I
Dosen Fikih STAI Sangatta Kutai Timur
Email. tatok.m@gmailo.com/ www.mustathok.blogspot.com/ 081254447281

Comments

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN

SOAL UTS Ushul Fiqih