MAULID NABI DAN RITUS SEREMONINYA

MENEMBUS MAKNA RUTINITAS PERINGATAN MAULID NABI SAW
Dimuat di Radar Sangatta, Kamis 24/1/2013



Oleh: Mustatho’, S.H.I., M.Pd.I

Peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang lebih dikenal luas dengan istilah maulid Nabi SAW selalu diperingati secara meriah oleh umat di seluruh dunia. Hari lahir nabi (maulild) Muhammad yang jatuh pada tanggal 12 rabiul awwal ini di sana-sini khususnya di Indonesia biasanya diperingati dengan berbagai macam kegiatan, di antara yang popular adalah pengajian yang mengulas kembali tentang sejarah kelahiran dan perjuangan Nabi Muhammad membawa dan menyebarkan risalah Islam. Pertanyaanya adalah peringatan kelahiran Nabi SAW yang terus terulang dalam setiap tahun akan menjadi moment beku dan ritual rutin yang hampa makna jika tidak diiringi dengan prespektif lain dalam memandang dan memahami sosok seorang Muhammad SAW.

Stagnasi dan kungkungan rutinitas peringatan maulid nabi Muhammad SAW akan menjadi kenyataan jika umat Islam di dunia dan di Indonesia hanya mengulang-ngulang sejarah kenabian belaka –lahir dan perjuangannya, dari satu sudut belaka tanpa berusaha memberi pemaknaan yang baru. Yang ada, di setiap tahun kita dapati peringatan maulid nabi Muhammad SAW selalu diisi dengan materi tentang “akhlakul Karimah” dari Nabi Muhammad SAW, dan cerita teladan-teladan kebajikan yang beliau ajarakan. Materi “Akhlakul karimah dan teladan nabi” memang tidak ada salahnya, namun pada akhirnya menjadi seremoni tahunan yang tidak membawa konsekuensi apapun bagi bangsa kita Indonesia. Karena kenyataannya moralitas bangsa kita, Indonesia, tidak pernah beranjak untuk menjadi lebih baik, alih-alih mencontoh Rasul Muhammad SAW melalui peringatan maulid Nabi SAW. Sungguh ironis di tengah kebobrokan moral, peringatan tersebut pada akhirnya hanya menjadi hiburan bahwa umat Islam Indonesia pernah memiliki tauladan agung Muhammad SAW dengan moralitas yang sempurna yang dimilikinya.
Sesungguhnya kebajikan moral dan sikap kepemimpinan yang dimiliki Rasul Muhammad SAW memang tidak bisa diragukan, sebagaimana yang diterangkan di dalam al-Quran suarat al-Qalam; 4 “wainnaka la’ala khuluqin adzim” dan sungguh engkau Muhammad Saw memiliki akhlak yang agung. Ditopang dengan riwayat yang mengetengahkan bahwa terjadi dialog antara seorang Badui Arab dengan Aisyah –istri nabi, yang mempertanyakan tentang akhlak nabi Muhammad Saw. Kemudian Aisyah menjawab “akhlak Nabi Muhammad adalah al-Qur’an.

Muhammad sebagai Manusia Biasa yang Bisa Dicontoh


Pernyataan tentang akhlak mulia Nabi Muhammad SAW –melalui Al-Qur’an dan Hadis, melambungkan posisi nabi Muhammad mengawang bagai tidak tersentuh oleh ukuran kemanusiaan. Maka jawaban atas peringatan maulid Nabi Muhammad SAW yang setiap tahun kita peringati tersebut adalah semestinya kita tempatkan Muhammad SAW dalam posisi yang wajar sebagaimana manusia biasa. Ketika Muhammad SAW dipandang dalam prespektif normative teologis maka yang ada adalah nabi Muhammad sebagai seorang yang ma’sum (tidak pernah berbuat dosa) sebagaimana Allah tandaskan “wa ma yantiqu anil hawa inhuwa illa wahyu yuha” yang artinya dan tidaklah muhammad berbicara melalui hawa nafsunya melainkan dari wahu Allah SWT; dalam prespektif ini umat nabi Muhammad tidak mungkin dapat mengikuti dan mencotohnya. Perspektif kedua, Nabi Muhammad adalah manusia biasa yang mungkin melakukan kesalahan (bukan dosa) dalam bidang pemikiran dan strategi politik dalam menjalankan pemerintahannya. Sebagaiamana banyak sejarah mengetengahkan tentang siasat Nabi dalam melepaskan tawanan perang badar yang memilih pilihan untuk menukarkan para tawanan perang badar dengan tebusan padahal Allah menghendaki lain yakni sikap tegas Muhammad SAW sebagai pemimpin negara dalam masalah ini dan bukan sifat arif dan bijaksana Muhammad sebagai Rasul dan utusan Allah yang selalu memberi maaf dan kasih kepada seluruh alam.

Terakhir sebagai penutup, Muhammad SAW sejatinya bukanlah manusia setengah dewa (sebagaimana syair iwan fals) yang tidak tersentuh salah. Muhammad SAW lahir dengan kondisi kemanusiaan yang saat itu parah dan bejat moral yang dalam pandangan Islam disebut masa jahiliah. Muhammad jg terlahir dengan kondisi keluarga yang rawan kasih sayang –Abdullah ayahandanya meninggal sewaktu beliau berumur 7 bulan dalam kandungan, dan 5 tahun ditinggal sang ibu, Aminah. Dari latar belakang social dan keluarga inilah pribadi Muhammad SAW terbentuk sehingga Muhammad memiliki pribadi yang peka dan senantiasa membaca dan merenungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dan dialaminya. Muhammad SAW akhir tumbuh menjadi pribadi pemikir dan pemerhati social, tak heran ayat yang diturunkan pertama kali kepadanya juga tentang perintah membaca yakni surat al-Alaq ayat 1-5. Karena alas an serupa pulalah meskipun nabi Muhammad tidak pernah membaca dan menulis (ummi) Nabi Muhammad langsung bias menerima tentang semua perintah Allah yang dibawa oleh Malaikat jibril kepadanya. Wa’ALLAU A’lam. Selamat memperingati hari lahir Muhammad SAW 1434 H.

Mustatho’, S.H.I, M.Pd.I
Dosen STAI Sangatta Kutai Timur, sekaligus guru PAI di SMP YPPSB prima School.
Telp. 081254447281


Comments

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN

SOAL UTS TAFSIR TARBAWI