KHILAFIYAH KEPEMIMPINAN

KHILAFIYAH KEPEMIMPINAN DAN KEWAJIBAN MENSUKSESKAN PEMILUKADA
(Studi atas Kewajiban Memilih Pemimpin dan Tingkat Partisipasi Prespektif Fiqhiyah)
Oleh:
Mustatho’, S.H.I., M.Pd.I (Dosen Masail Fiqh STAI Sangatta)

Agama Islam adalah agama mayoritas yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia. Tak pelak agama ini di setiap aspek kehidupan Umat Islam di Indonesia senantiasa memberi warna, apakah itu pada persoalan beribadatan seperti shalat, puasa, hari Raya bahkan sampai pada kriteria kepemimpinan, umat Islam senantiasa menimbang dan memperhatikan nilai-nilai agama yang mereka yakini kebenarannya. Lebih spesifik terkait pemilihan kepemimpinan, bisa dilihat dalam kasus pemilu presiden tahun 2000, dimana umat Islam Indonesia saat itu senter menimbang wacana “boleh dan tidaknya” pemimpin/ presiden dari wanita. Bahkan sebagian besar umat Islam meyakini tentang “Haramnya” Presiden Wanita, sehingga Pemilu presiden di Tahun 2000 tersebut dimenangkan “kaum laki-laki” yang sukses mempola keyakinan tentang pemimpin laki-laki lebih baik dibanding perempuan. Maka terpilihlah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden, meskipun pada akhirnya diturunkan di tengah jalan.

Islam, di sisi yang lain adalah agama Rahmatan lil ‘Alamin, artinya agama Islam hadir untuk menjadi rahmat (Kasih) kepada seluruh alam semesta. Dari aksioma ini, Islam semestinya menjadi jembatan bagaimana sebuah negara mampu berjalan dengan baik dengan nilai-nilai demokratis dan keadilan yang ada. Demikian juga pemeluk agama Islam; orang perseorangan dalam Islam disebut khalifah (wakil Allah) di dunia, yang semestinya mampu membahasakan kasih sayang Allah di dunia dalam perikehidupan dan perikebangsaan guna terwujudnya tata kelola negara dan bangsa yang bermartabat.
Pertanyaanya, meskipun ajaran Islam menjunjung tinggi terwujudnya negara dan bangsa yang bermartabat, serta nilai Islam mengajarkan prinsip “al-wasilatu ila syain fahuwa syaiun yuradu” yang bermakna “proses dan jalan menuju sesuatu, hukumnya sama dengan sesuatu itu”, artinya jika kemaslahatan bangsa hanya bisa diwujudkan dengan cara memilih pemimpin, maka pemilu sebagai wadah dan cara untuk menentukan pemimpin menjadi wajib hukumnya untuk diselenggarakan, namun masih banyak umat Islam yang memiliki sudut pandang berbeda. Terlebih bagi mereka yang meyakini akan nilai formal sebuah agama. Bahwa negara tanpa formalisasi agama maka tanpanya negara menjadi tidak patut dibela alih-alih diperjuangkan. Umat Islam yang memiliki sudut pandang seperti ini akhir tak acuh terhadap penyelenggaraan demokrasi melalui pemilu yang ada. Pada akhirnya pemilu menjadi sepi peminat, pun pemimpin tidak terpilih dengan selektif dan baik.

Kepemimpinan Lintas Gender

Pada akhirnya ikhtilaf fiqhiyah terkait kepemimpinan perempuan terjawab dengan sendirinya oleh sejarah bahwa sebuah kepemimpinan utamanya kepemimpinan sosial-politik, berpulang pada kualitas personal yang melekat pada diri seorang pemimpin dengan visi dan kepampuan kepemimpinannya, melintasi batasan gender. Misalkan dalam Islam dikenal Ratu Bilqis, di Indonesia Megawati Soekarno Putri pernah menjadi Presiden ke-5, di tingkat Kabupaten/ Walikota ada walikota Surabaya Tri Rismaharini, di Kutai Karta Negara ada Rita Widyasari, dua perempuan yang disebut belakangan bahkan hampir-hampir sulit menemukan calon lawan dalam gelar pemilukada tahun 2015 ini, terbukti di Surabya harus diundur dan diperpanjang masa penerimaan pasangan calon walikota dan wakil walikota Surabaya. Pun, kasus Rita bahkan saat ini masih menantikan bakal pasangan calon yang siap maju menjadi lawannya, karena 2 pasangan semula gugur dalam tahapan verifikasinya.
Sebenarnya, acuan gender dalam perdebatan masalah kepemimpinan ini adalah Q.S An-Nisa ayat 34 “ar-Rijalu qawwamuna alan nisa’....” kaum lelaki adalah pemimpin dari kaum perempuan. Ayat tersebut oleh Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan al-Qur’an dimaknai sebagai kepemimpinan dalam keluarga, karena seorang laki-laki secara umum menanggung kewajiban mencari nafkah untuk keluarganya. Demikian juga sebuah hadis yang menerangkan “tidak bahagia suatu kaum yang mengangkat seorang perempuan sebagai pemimpinnya”, dimaknai oleh fatiham al-Marnisi sebagai hadis dengan konteks kualitas bukan biologis. Hingga siapapun pemimpinnya, baik perempuan maupun laki-laki berpulang kembali kepada kualitas personal kenegarawanan yang melekat padanya.

Partisipasi sebagai Kunci

Peran masyarakat untuk menghasilkan pemimpin yang berkualitas pada akhirnya berpulang kembali kepada kesadaran masyarakat akan urgensi memilih seorang pemimpin secara sadar dan cerdas. Dalam hukum Islam, pemilu merupakan wasilah/instrumen politik untuk memilih pemimpin yang mampu menjalankan amanat kepemimpinannya yaitu menyejahterakan masyarakat yang dipimpinannya. Dengan demikian, tujuan pokok dari pemilu adalah lahirnya sosok pemimpin yang mampu menciptakan kemaslahatan hidup rakyatnya. Menurut konstitusi negara Indonesia, Pemilu merupakan instrumen legal untuk memilih pemimpin. Seorang warga negara yang berpartisipasi dalam pemilu dengan memberikan hak suaranya, maka ia telah menegakkan kepemimpinan politik dan menjauhkan dari kevakuman pemerintahan. Berpartisipasi politik dalam pemilu merupakan satu tugas keagamaan dengan memberikan suaranya untuk memilih pemimpin yang berkualitas dan berintegritas.
Kerangka berpikir hukum yang digunakan untuk meletakkan hukum partispasi rakyat dalam pemilu adalah dengan melihat hubungan hukum antara wasilah (instrumen) dengan ghayah (tujuan). Satu tujuan pokok dari pemilu adalah memilih pemimpin politik (ulil amri) untuk terciptanya kemaslahatan hidup yaitu berjalannya hukum agama dan tatanan sosial. Inilah yang disebut dengan the final goal (ghayah). Pemilu berdasarkan konstitusi negara merupakan proses demokrasi untuk memilih ulil amri. Pemilu disebut dengan instrumen/alat (wasilah). Karena mengangkat pemimpin (ulil amri) itu hukumnya wajib, sementara pemilu merupakan instrumen legalnya, maka berpartisipasi dalam pemilu juga hukumnya wajib. Dalam kaidah fikih (islamic legal maxim) disebutkan kewajiban tidak akan berjalan sempurna, tanpa adanya sesuatu yang lain, maka sesuatu itu hukumnya wajib. Terpilihnya pemimpin yang adil untuk tertib sosial adalah tujuan (ghayah), sedangkan pemilu adalah instrumen/alat (wasilah). Hukum wasilah sama dengan hukum ghayah bahkan lebih jelas diterangkan dalam sebuah kaidah fiqh “al-Amru bimaqasidiha” hukum sesuatu berpulang kepada maksud dan tujuannya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Fatwa pada tahun 2009 memutuskan beberapa hal pokok terkait dengan pemilu. Pertama, pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa. Kedua, memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama. Dengan mendasarkan pada argumen-argumen di atas, kesediaan masyarakat muslim Jawa Tengah untuk menggunakan hak pilihnya adalah bagian dari pelaksanaan perintah agama sekaligus cermin sebagai warga negara yang baik.

Mustatho’, Alumnus UIN Sunan Kalijaga. Saat ini menjadi Dosen tetap STAI Sangatta Kutai Timur, Alamat: Jl. APT. Pranoto No 1 Sangatta Utara Kutai Timur, 75611. email : tatok.m@gmail.com Hp. 081254447281

Comments

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN

SOAL UTS TAFSIR TARBAWI