INSPIRASI, PERJUANGAN, JODOH DAN KESUKSESAN

BUKU KEHIDUPAN

Kehidupan ibarat sebuah buku dengan lembar-lembaran yang ia miliki yang terintegrasi dengan sampul awal sebagai pembuka dan sampul akhir sebagai penutupnya; tebal tipisnya buku itu tidak menjadi ukuran kualitas dan keindahan buku tersebut. Berpulang kepada isi dan sistematika materi dalam tulisan yang ditorehkan oleh sang penulis. Bukankah anda justru “bosan”, “muyak” dan bored ketika membaca buku tebal tapi materi tulisan membingungkan?. Anda justru akan tidak senang ketika memiliki buku tebal namun tidak faham ide pokok tulisan dalam buku itu. Demikian juga dengan buku yang indah tapi tipis, disimpan seakan tidak menjadi “kebanggaan” dibaca tapi tidak dikenang. Pertanyaannya, seperti apa kemudian model buku yang diidamkan seseorang dimana tertulis namanya di dalam buku tersebut?. Mungkin jawabnya “khairul umuri awsatuha”.

Buku kehidupan ini bukan buku seperti buku-buku masa kini yang mudah dihapus sebagaimana tulisan yang diedit oleh komputerisasi masa modern saat ini, juga tidak seperti mesin ketik manual yang bisa dihapus dengan tipe ex. Jalannya kehidupan berjalan lurus dengan tanpa bisa kembali kepada apa yang telah terlalui. Hanya ada solusi bagaimana usaha untuk memperbaiki masa lalu dengan cara merubah perbuatan masa lalu dengan perbuatan yang lebih baik di masa depan dengan harapan masa depan bisa mengganti masa lalu dengan cara untuk “dimaafkan”. Prespektif agamanya disebut dengan taubatan nasuha.

Sampul kehidupan seorang manusia dimulai ketika ia dilahirkan. Masa pregnant (kehamilan) ibarat awal munculnya perencanaan ide penulis saat hendak mencetuskan gagasan buku yang bakal menjadi masterpiecenya. Sebuah buku dimulai dengan prolog prakata dari sang penulis, demikian juga dengan kehadiran seorang anak dimulai dengan berucap syukur serasa memberi nama dan berakikah untuk diperkenalkan dan dibanggakan bahwa “maha karya” telah tercipta. Bagaimana dengan anda, apakah anda anggap anak anda sebagai sebuah maha karya?. Yang harus dijaga dan diteruskan cita-cita pembuatannya sebaik itu juga menciptakan alur tulisannya?. “Kullu mauludin yuladu ‘alal fitrah”. Alih-alih menjaganya, orang sekarang menganggap anak seperti stand up yang “lebih seneng” ketika ditertawai banyak orang.... (jangan sampai)...

Masa dimana anak-anak bertumbuh untuk sosialisasi, anak-anak mempertanyakan semua yang ia lihat dan dengar. Orang tua zaman sekarang bertindak “bijak” untuk tidak menjawab semua pertanyaan anak-anak dengan lebih memilih menyalurkan rasa penasaran anak tersebut dengan memasukkannya ke lembaga pendidikan, hingga anak ada yang dipercayai yakni kepada gurunya. Tak heran seorang guru lebih dipercayai kata-kata dan jawabannya ketimbang orang tuanya sendiri.... tapi orang tua menjadi “kurang bijak” karena model terbaru orang tua lebih memilihkan seluruh waktu anak untuk dihabiskan dengan guru hingga anak tidak pernah bisa pembandingkan pendapat orang tua mereka dengan pendapat yang selalu ia dengar jawabannya dari guru mereka. Bagaimana anak-anak dituntut bisa patuh dengan orang tuanya ketika berpendapat pun tidak pernah????. Lembaga untuk menampung keengganan orang tua ini terkadang disebut “fullday schooll”, entah karena orang tua bekerja penuh waktu, sehingga kewajiban mendidik seharian dipanggulkan ke lembaga pendidikan tersebut?....mudah-mudahan alasan orang tua yang memilih fullday school tidak semata karena materi yang dikejarnya....amin

Zaman sewaktu anak-anak masih menjadi waktu anak-anak; keindahan lingkungan sosial anak, secara psikis menjadi anugar yang tidak tergantikan. Demikian juga sewatu kecil yang pernah penulis lalui, anak-anak adalah sewaktu dimana semua pertemanan diwujudkan untuk bereksplorasi bersama itu mencoba dan mengetahui secara langsung perihal hal ihwal yang kita temui.

--------------------------***--------------------------
Aku lahir dan menjadi anak keempat dari lima besaudara, semua pendidikan kuperoleh berimbang antara pendidikan dari lembaga sekolah, keluarga dan lingkungan. Lihatlah waktu itu, pagi untuk bersekolah, siang untuk bersama orang tua, sore hari untuk bermain bersama teman-teman sebaya dilingkungan pendidikan yang aku pilih sendiri dengan teman-teman kecil lainnya; bisa dengan media belajar dipematang sawah, bisa di sungai dengan mencari ikan, mencari burung bahkan dengan memelihara kambing dan mengajari diri bersama-sama mengurus dan memberi rasa sayang kepada hewab peliharaan.

Aku kini, Mustatho sudah menjadi seorang ayah untuk kedua puteriku Muna Habibah 4.5 tahun dan Mumtaza Rahma 1.5 tahun. Bersamaku hidup seorang isteri tercinta Dina Makhrita untuk mendidik anak bersama-sama. Meski zaman berbeda masa kanak-kanak tidaklah berbeda yang semestinya mereka lalui dengan riang dan tanpa beban semoga tetap mereka dapatkan. Amin...
Kehidupan yang berproses itu kulalui bukan tanpa aral ataupun tanpa perjuangan.... dalam menulis buku terkadang tidak sedikit hal sulit dilalui seroang penulis...pun Ibnu Malik (seorang pakar nahwu) ketika menuliskan alfiah pernah kesulitan meneruskan “nadzamat” dalam muqaddimah karyanya... demikian juga bait-bait dalam kehidupanku... namun justru karena kesulitan dan perjuangan itu seseorang bisa lebih menghargai makna kehidupan.

Dibesarkan dalam keluarga yang serba memberi kemudahan, -karena terlahir hanya 1 sebagai seorang anak laki-laki dengan 4 anak perempuan dalam keluargaku, bahkan bapak dan emakku yang sebenarnya orang kurang mampu pun menyekolahkankku tanpa pamrih sampai dengan jenjang Strata 2 (S2) “mudah-mudahan beliau disayangi sebagaimana menyayangiku sewaktu kecil Rabbi ighfirli waliwalidayya war hamhuma kama rabbayani shaghira”. Amin... setelah dengan ikhlas menyayangi, membesarkan dan mendidikku sampai dewasa; tibalah waktu seorang anak elang untuk tebang sendiri, memilih hidup, pasangan dan membikin sarang sendiri untuk keluarganya.... demikian juga diriku, pasca S2 di UIN Sunan Ampel Surabaya kemudian hijrah ke kalimantan tanggal 25 November 2008.

Memasuki tahun kedua semenjak hijrah ke kalimantan, akhir 2009 usiaku sudah memasuki usia matang untuk berkeluarga. Maka orang tuaku juga menfasilitasi dan mewartakan agar diriku segera membentuk keluarga, salah satu usaha bapak, emak adalah dengan memperkenalkan kepada calon-calon yang siapa tau berjodoh, bahkan bapak sendiri berujar “le nek golek bojo wong jowo wae” / anak lanangku kalau cari pasangan orang jawa ya... tapi setelah hampir satu tahun, pertiga bulannya mondar-mandir kalimantan-jawa-jawa-kalimantan, pada kesempatan itu tanggal 24 Mei 2010 tanggal dan bulan yang sama dengan saat aku lahir 24 mei 1981, ketika bapak hendak mengantarkanku balik ke kalimantan, bapak berujar “le awakmu mengko nikah malam 9” / kamu nanti nikah tanggal 29 Ramadhan. Yang kemudian aku tanyakan untuk mempertegas “nopo pak?”, “ora guyonan wae kok”, jawab bapak...

Semenjak saat itu aku pahami bahwa mencari jodoh bukan perkara mudah tapi juga belum terdefinisikan indikator kesulitannya. Namun ada semacam kepercayaan, berjodoh adalah ketika kita bertemu seseorang dan kita merasa “sreg” kepadanya diawal pertemuan“love is what you feel in the first meeting” karena pengalaman sebelumnya yang pernah kopi darat dengan calon-calon yang lain, baik yang dari Blitar, Lamongan, Mojokerto, Bojonegoro maupun dari Tuban sendiri. Kali ini aku bertemu dengan seorang perempuan dengan setting waktu pendaftaran mahasiswa STAI Sangatta Kutai Timur, perempuan ini menanyakan bagaimana ia bisa mendaftar sebagai mahasiswa STAIS, namun dengan semua jawaban “silahkan datang sendiri mendaftar ke Kampus”, dia bilang “tidak bisa naik motor”, “silahkan minta diantarkan cowoknya”, dia bilang “gak punya cowok”, “lah terus biasanya kemana-mana sapa siapa?”, dia jawab “biasanya dengan abah”. Oleh karena hal tersebut akhirnya aku sendiri yang mengalah “baiklah bisa ditemui dimana, biar bisa saya sampaikan langsung perihal syarat pendaftaran, dan seterusnya”... akhirnya aku temui si dia di Town Hall mini market K3PC, semenjak saat itu sekaligus aku berkenalan, namanya Dina Makhrita. Semenjak saat bertemu pertama dengannya langsung aku sendiri menawarkan diri “apakah aku cocok untuk menjadi cowoknya?”, namun dia memilih kalau aku serius agar bisa menemui abahnya....

Tanpa proses lama namun karena keseriusan dan kesungguhan hati untuk menjadikan dia sebagai isteri serta keyakinan bahwa jodoh itu ada pada dirinya, maka kutelepon Bapak di Jawa, “Pak kulo bade nikah”/ pak saya mau menikah, mohon lamarkan... jawaban Bapak “malem songo yo leh?”. Malam 29 Ramadhan ya nak?. “dek...baru teringat lagi, kata-kata bapak itu pernah diucapkannya 2 bulan yang lalu. Entah karena kuatnya firasat orang tua atau karena faktor lainnya...

----------------------------***----------------------------

Mustatho-Dina Makhrita menikah 22 September 2010 di KUA Sangatta Utara saat ini memiliki 2 Putera (Muna Habibah, Mumtaza Rahma) kini tinggal di JL. APT Pranoto Gg Wulan Blok C No 70. Semoga pernikahan kami sakinah mawadah wa rahma dikarunia anak yang salih-salihah keluarga menjadi keluarga yang hidup bahagia dunia dan akhiratnya “rabbana atina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah”. Amin
Ditulis di Hotel Amaris Tamrin City Jakarta ruang 621 saat dimana mendapat tugas menghadiri putusan MK tentang Permohonan PHP Pilkada Kutai Timur tanggal 22 Januari 2016. Amar putusan: menerima eksepsi termohon KPU dan Pihak lain serta menolak permohonan dari Paslon Nomor urut 2 Ardiansyah Sulaiman-Alfian Aswad jam 00.23 WIB

Comments

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN

SOAL UTS TAFSIR TARBAWI