Efektifitas Otonomi Daerah dan Mutu Pendidikan

Otonomi daerah lahir sebagai bentuk koreksi atas corak pemerintahan dan hubungan antara pusat‐daerah yang sentralistik, eksploitatif serta jauh dari nilai‐nilai demokrasi yang saat ini menjadi mainstream sistem politik yang berlaku di dunia. Konsep awal otonomi daerah muncul pada tahun 1903 melalui undang undang desentralisasi di bawah pemerintah kolonial Belanda. Undang-undang Otonomi Daerah waktu itu dikenal sebagai Decentralisatie Wet 1903 dan merupakan amandemen terhadap Regeringsreglement 1854 (RR 1854). Tiga pasal tambahan yakni pasal 68a, 68b, dan 68c berisi empat hal yaitu:

1. Bahwa Hindia Belanda akan dibagi ke dalam satuan-satuan daerah;
2. Pemerintahan daerah tersebut akan dilaksanakan oleh pejabat tinggi (hoofdamtenaren);
3. Gubernur jenderal sebagai penguasa dari pejabat tersebut, dan
4. Kekuasaan sipil adalah kekuasaan tertinggi di daerah (Wignjosoebroto, 2004).

Ide pemekaran daerah dari awal sejarah kemunculannya sebenarnya merupakan niatan untuk menata kembali daerah-daerah agar diperoleh suatu sistem pemerintahan yang efektif dan efisien dengan mendekatkan pelayanan publik ke rakyat. Ujung dari penataan ini tidak lain adalah suatu kesejahteraan rakyat yang lebih merata di semua daerah termasuk di dalamnya pemerataan pendididikan yang bermutu. Pertanyaanya kemudian adalah bagaimana bentuk ideal pendidikan di era otonomi daerah?. Tulisan ini berusaha menggambarkan pendidikan di era otonomi daerah.

Kebijakan Pendidikan di Era Otonomi

Pendidikan di dalam UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 disebutkan adalah hak dasar kemanusiaan yang harus dapat dinikmati secara layak dan merata oleh setiap masyarakat. Pengertian hak dasar kemanusiaan yang termaktub dalam UU ini merupakan hak asasi yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng semenjak seseorang dilahirkan ke dunia. Hak asasi kemanusiaan ini mengandaikan pemenuhannya hanya bisa dicapai dan terpenuhi dengan perlindungan, penghormatan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Maka Negara sebagai institusi resmi wajib melaksanakannya, memfasilitasi dan meniadakan segala penghalangnya. Untuk itu, pendidikan yang bermutu, semestinya mampu dinikmati oleh semua element masyarakat bangsa Indonesia. Kebijakan pendidikan di Indonesia semestinya mendukung atas terjaminnya hak-hak asasi warganya utamanya dalam hal perolehan pendidikan bermutu khususnya dalam konteks otonomi daerah.

Dalam konteks otonomi daerah, pelimpahan wewenang pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah digagas dan diawali dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 dan disempurnakan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, berisi tentang penyerahan sejumlah wewenang yang semula menjadi urusan pemerintah Pusat kepada pemerintah Daerah, termasuk di dalamnya pengelolaan Bidang Pendidikan. Pelimpahan wewenang ini diteruskan dengan dikeluarkan UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah yang bertujuan memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan system pembiayaan daerah yang adil, trasparan dan bertanggung jawab.

Adanya UU otonomi daerah dan UU perimbangan keuangan pusat-daerah ini semakin membantu dan memberi kesempatan kepada pemerintah daerah untuk seluas-luasnya mengelola pendidikan sebaik mungkin. Secara eksplisit kewenangan dan alokasi dana pendidikan ini disebutkan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 29: “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negera (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Realisasi dari UU ini tentunya mengarah pada tanggung jawab pemerintah daerah yang semakin meningkat dan semakin luas, termasuk dalam manajemen pendidikan. Pemerintah daerah dengan legitimasi UU ini diharapkan senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam berbagai tahap pembangunan pendidikan; sejak mulai tahap perumusan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan sampai pada tingkat pengawasan di daerah masing-masing sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional. Pengaturan otonomi daerah dalam bidang pendidikan secara tegas dinyatakan dalam PP Nomor 25 Tahun 2000 yang mengatur tentang pembagian kewenangan pemerintah pusat dan provinsi. Semua urusan pendidikan di luar kewenangan pemerintah pusat dan provinsi tersebut sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota.

Unsur-unsur Terjaminnya Mutu Pendidikan di Era Otonomi Daerah

Pemerintah melalui program-program pendidikannya sebenarnya telah berusaha untuk terus memperbaiki system pendidikan dan mutu material (kurikulum) pendidikan di Indonesia. Usaha ini tercermin dalam berbagai perubahan kurikulum yang pernah ada, mulai dari kurikulum 1968, Kurikulum 1975, kurikulum 1984, Kurikulim 1994, KBK dan KTSP (Abd. Rachman Assegaf, 2005). Tampak sekali hal ini dilakukan sebagai usaha untuk memeperbaiki system dan mutu materi pendidikan di Indonesia. Namun alih-alih mencapai sasaran, pembangunan pendidikan melalui perubahan kurikulumnya ini nampak sekedar aksi trial-error buah dari peralihan kepemimpinan di tingkat pemegang kuasa politik di Indonesia. Usaha “uji coba” kurikulum ini melupakan subtansi dari tujuan pendidikan yakni pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang menjadi hak setiap warga negara. Pertanyaannya, bagaimanakah usaha menjawab kebutuhan pendidikan ini sesuai dengan spirit kebutuhan daerah?

Yang perlu diketahui bahwa otonomi daerah yang berimplikasi pada otonomi pendidikan ini dibangun atas dasar filosofi bahwa masyarakat di setiap daerah merupakan fondasi yang kuat dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) secara nasional. Sisi moralnya adalah bahwa orang-orang daerahlah yang paling mengetahui permasalahan dan kebutuhan mereka sendiri. Penyelenggaraan otonomi daerah semestinya mendorong terjadinya proses otonomi pendidikan di tingkat daerah. Adanya Otonomi daerah dan otonomi penyelenggaraan pendidikan daerah bertujuan agar pengelolaan dan menyelenggarakan pendidikan lebih sesuai dengan konteks kebutuhan daerah yang bermutu dan adil.

Hasil dari otonomi daerah dan otonomi pendidikan adalah out put yang cerdas secara nasional dan arif dalam tingkatan local. Out put yang cerdas dan arif ini secara umum akan membentuk tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik, berhasil dan produktif sesuai dengan konteks dimana ia berada. Dan melalui pendidikan yang mengerti lokalitas (yang sesuai dengan kebutuhan daerah) menjadi satu-satunya media pembentuk masyarakat tamadun (beradap), yang menjadikan manusia berada pada piramida tertinggi dalam pola relasi kehidupan di dunia (khalifatullah fil Ardh) berguna dan bernilai sesuai dengan konteks kedaerahan dan kebutuhan masyarakatnya.

Menurut pemikiran penulis, ada beberapa unsur yang mesti terpenuhi dalam penyelenggaraan otonomi daerah dan otonomi pendidikan, yaitu: Pertama, pemerintah baik pusat/daerah, sebagai pengambil kebijakan pendidikan, sudah sepatutnya menanggung biaya minimal pendidikan yang diperlukan anak usia sekolah/madrasah tingkat dasar dan lanjutan baik negeri maupun swasta yang diberikan secara individual kepada siswa. Kedua, masyarakat sebagai stake holder pendidikan setempat semestinya berpartisipasi aktif dalam perumusan kurikulum muatan lokal, yang akan membantu mendiagnosis kebutuhan-kebutuhan pendidikan sesuai dengan konteks lokalitas. Ketiga, sekolah-sekolah –baik negeri/swasta, hendaknya diberdayakan potensinya melalui bantuan dan subsidi dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran siswa dan optimalisasi daya tampung yang tersedia. Ke-empat, daerah-daerah yang membutuhkan pembangunan gedung sekolah baru dan ruang kelas baru hendaknya diprioritaskan untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Kelima, memberikan perhatian khusus bagi anak usia sekolah dari keluarga miskin, masyarakat terpencil, kumuh dan masyarakat daerah yang sedang mengalami konflik dan bencana alam; dengan memberikan beasiswa pendidikan kepada mereka. Ke-enam, partisipasi semua pihak untuk ikut serta menangani penuntasan wajib belajar (wajar) 9 tahun.

Terakhir, pada dasarnya otonomi daerah adalah kesempatan emas bagi pemerintah daerah untuk membangun dan mengatur pendidikan sebaik dan sesuai dengan kebutuhan yang ada di daerah, disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan yang ada di daerah. Pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan umum pendidikan harus memulainya dari adanya political will yang kuat guna menjamin pemerataan kesempatan bagi seluruh anak dan semua lapisan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan bermutu sebagai hak mereka. Peran ini bisa dilakukan melalui perumusan kebijakan umum, pelayanan teknis, dan memonitor program secara regular akan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.(*)
Mustatho'
Pengajar di STAIS Kutai Timur

Comments

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN

SOAL UTS Ushul Fiqih