Agama yang Membebaskan


Agama yang Membebaskan
Oleh Mustatho

Suara Karya, Edisi Senin, 6 Oktober 2008
Fenomena keagamaan dewasa ini sulit dipahami. Agama yang semangat idealnya membebaskan, memberdayakan, dan memanusiakan (memuliakan) manusia, justru menjadi derita bagi sebagian manusia lain. Puasa memang telah lewat, namun bertindak baik dan solidaritas sosial kepada sesama yang telah kita bangun selama bulan Ramadhan tidak boleh berakhir. Puasa adalah prototipe model keberagamaan yang harus selalu diaktualisasikan.
Praksis agama adalah pembebas dan pembela kaum papa. Aktualisasi kesehariannya tidak hanya pada bentuk ritus formal-yang pada skala mikro membebaskan bagi pelakunya semata-tetapi juga harus merambah pada kantong-kantong sosial kemasyarakatan secara menyeluruh. Praksis ini harus menjadi visi hidup setiap umat beragama. Substansi agama sebagai pembebas dan pembela kaum tertindas tidak sekadar menjadi ujaran teks agama, yang melangit dan penuh ujaran utopis. Dalam Islam, semua norma agama terkait erat dengan amalan praksisnya, seperti pewajiban salat yang tujuan praksisnya adalah pencegahan kemungkaran dan zakat sebagai bentuk kepedulian sosial.
Antara paham agama dan sikap hidup menjadi cerminan bagaimana posisi agama yang seharusnya menjadi world construction bagi pemeluknya dalam mengimplementasikan jiwa agama sebagai "penyelamat dan pembebas" bagi manusia lain. Tak syak klaim agama bahwa setiap agama menghendaki pemeluknya menjadi pionir dalam melakukan kebajikan di dunia ini. Di sisi inilah agama sebagai pembebas berperan. Menolong sesama yang berada dalam kubangan kemiskinan dan ketidakadilan adalah wujud penghayatan dan aktualisasi dari keyakinan agamanya. Pemahaman agama yang melulu memihak dan mendasarkan pada aspek normatif ketimbang aspek sosiologis mestinya segera diubah dengan pemahaman yang menjiwai usaha-usaha aktif pemberdayaan dan kegiatan sosial ekonomi kemasyarakatan secara konstan.
Sebagaimana agama Kristen hadir untuk menjadi pembebas bagi kondisi materialisme masyarakat yang menggila, Islam hadir menawarkan pembebasan bagi ketidakadilan masyarakat, kebobrokan moral dan despotisme yang nyata menggerogoti bangunan kemanusiaan yang ada saat itu. Sejak awal Islam memerintahkan umatnya untuk menegakkan keadilan, memberantas kemiskinan, dan menghapus ketidaksetaraan.
Agama, yang seharusnya menjadi titik pijak yang cukup penting dalam keterlibatannya mewujudkan masyarakat adil, sejahtera, dan setara, harus dikembalikan pada tujuan awal penurunannya. Hal ini menjadi penting pada saat negara yang seharusnya berperan lebih terhadap masyarakat ternyata tidak mampu memerankan peranan pembangunannya dan mengantarkan transformasi sosial ekonomi masyarakat yang terjerat kemiskinan.
Cukup tragis memang, di negara Indonesia yang terkenal sebagai lumbung beras ini, kemiskinan tergambar begitu menganga, nasi aking menjadi menu utama, nasi sampah menjadi biasa. Tak mengherankan jika kemudian penjualbelian daging limbah menjadi pilihan.
Peran ideal agama sebagai pembebas dan pengubah kondisi sosial di sini menjadi makin diharapkan. Peran inilah yang akan mengantarkan dan membentuk masyarakat mulia dan beradab (masyarakat madani) sebagai tujuan agama menjadi makin nyata.
Namun, mungkinkah hal ini bisa terwujud di tengah kondisi paham masyarakat yang masih berkutat pada paham formal agama? Menghayati dan mengamalkan agama sebatas ajaran fikih, bertindak berdasarkan nilai etik wajib-haram, pahala-dosa belaka?
Paham agama dengan etika fikih akan sangat kesulitan menghadapi persoalan hidup dan keumatan. Paham etika fikih akan melahirkan kekakuan pelaksanaan agama. Alih-alih menjadi pembebas, paham ini justru sering menjadi pemicu keterbelengguan. Dari pemikiran dan paham agama seperti ini sangat jauh diharapkan munculnya keprihatinan sosial yang sesungguhnya, yakni keprihatinan yang bisa melahirkan kesadaran untuk dengan ikhlas mengantarkan transformasi kehidupan masyarakat lapis bawah, mengentaskan kemiskinan, dan menegakkan keadilan.
Suatu pembaruan sosial, bahkan perubahan sosial dari sudut agama, baru betul-betul konkret jika memang didasari oleh ajaran agama itu sendiri. Perubahan ini berkelindan dengan pemahaman agama di tingkat masyarakat. Usaha mengubah masyarakat tidak akan berarti tanpa adanya perubahan pemahaman agama di tingkatan praksis. Menurut M Dawam Raharjo, usaha perubahan harus dimulai dengan pencerahan, yakni mengubah pemahaman masyarakat terlebih dahulu. Perubahan pemahaman ini dapat dilakukan dengan berpijak pada dua hal.
Pertama, kesadaran baru tentang sisi historis kelahiran agama bahwa sebuah agama muncul untuk merespons penderitaan dan kesengsaraan yang mencekam kehidupan umat manusia akibat penindasan dan eksploitasi yang dilakukan komunitas sosial maupun individul yang dominan. Agama lahir sebagai bentuk keprihatinan atas realitas sosial yang timpang. Untuk itu, kehadiran agama merupakan upaya kritik dan pembelaan atas upaya-upaya dehumanisasi, penistaan terhadap harkat dan nilai-nilai kemanusiaan.
Kedua, dari sisi doktrinal-normatif agama, teks-teks suci agama yang bersifat normatif sangat perlu dipahami secara utuh, sehingga nilai-nilai substansial agama dapat ditangkap secara keseluruhan. Dalam banyak hal ayat Al Qur'an, misalnya, dapat ditemukan penjelasan bahwa agama mengandaikan keseimbangan antara dua kepentingan: Tuhan dan manusia. Bahkan, problem kemanusiaan terkadang lebih penting untuk dikedepankan. Dalam surat Al-Ma'un (107), misalnya, ditegaskan bahwa para pendusta agama adalah mereka yang hanya menikmati sembahyang (juga ritus-ritus formal lainnya), tapi lupa akan nasib orang-orang yang tereliminasi dan menderita secara sosial-ekonomi.
Tanpa mengadakan pembaruan pemikiran dan pemahaman keagamaan dan etos kepedulian sosial yang tidak mengacu pada misi utama Islam sebagai pembebas dan penyelamat, akan sangat sulit mendapati Islam beperan dalam perkembangan masyarakat dewasa ini. Karena itu, pembaruan pemikiran dan pemahaman keagamaan kiranya masih perlu diusahakan terus-menerus agar agama Islam dapat mengulang kembali peranannya sebagai pembela kaum miskin, pencipta masyarakat yang adil dan sejahtera.***
Penulis adalah alumnus Santri Canggih,
Forum Muda Paramadina Jakarta

Comments

samsulbahri said…
Selamat Pagi, Kawan Tatok. Sudah berapa artikel lagikah yang diup-load koran?

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN

SOAL UTS Ushul Fiqih