MENJEMBATANI AGAMA SEBAGAI ILMU


MENJEMBATANI AGAMA SEBAGAI ILMU
Opini Dimuat di Koran Jakarta, Jumat 30 Mei 2008
oleh Mustatok
Banyak kalangan apriori terhadap agama, bahwa agama adalah unobservable, anti kritik dan menghambat kemajuan.Agama dikatakan sangat subjektif, tidak objektif dan tidak ilmiah. hingga kemudian muncullah pengucilan agama.Agama hanya ditempatkan sebagai dogma dan ortodoksi belaka.Agama kemudian dibedakan dengan dan dari jenis ilmu pengetahuan lainnya yang dinyana tampak objektif dan ilmiah. pertanyaannya kemudian adalah siapa yang bisa menjamin ilmu-ilmu sosial-sains sebagai ilmu objektif? yang bebas dari unsur subjektif? walaupun banyak kalangan ilmuan dan saintifik mengkalim dan meyakini demikian, namun demikian banyak di antara mereka hanya mampu berkelit bahwa objektifitas pengetahuan dan sains yang diyakini adalah objektif-kategoris yang dikehendaki oleh dunia ilmiah saat ini.Jawaban di atas semakin mengkaburkan permasalahan dan memancing pertanyaan serupa, kategori ilmiah saat ini, siapa yang membangunnya? atas dasar episteme apa atribusi ilmiah ini tersemat? tentu jawabannya adalah tetap, antara objektif dan ilmiah adalah semata dari subjektifitas manusia. Manusialah yang menempatkan sesuatu sebagai objektif-ilmiah dan oleh subjektifitas manusiapulalah konsepsi ini dibenarkan (apriori).Hal urgent kedua adalah mempertanyakan fungsi dan tujuan ilmu pengetahuan. sebenarnya kemanakah tujuan ilmu pengetahuan-sains ini di arahkan? apakah ada ilmu tujuan yang benar-benar murni tanpa tendensi? bukankah kemurnian ilmu pengetahuan justru mencerabut kebaradaan ilmu pengetahuan dan peran vitalnya pada manusia sebagai penemu dan penciptanya dan sekaligus tujuannya?. Dengan kata lain perdebatan objektif-ilmiah dan pembedaan antara agama dan ilmu lain dapat ditekan karena dapat dikatakan bahwa segala ilmu baik sains ataupun ilmu agama adalah untuk manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara Agama sebagai ilmu dan ilmu-ilmu humaniora lain mempunyai titik pijak sama, yakni sama dalam asal, tujuan dan dalam keberadaannya, keduanya memiliki landasan sama (subjektifitas manusia). Lalu kenapa ada pembedaan dan pembidangan antara sains sebagai ilmu dan anggapan bahwa agama di luar sistem ilmu manusia?. Sebenarnya kecerabutan Agama dari ilmu lainnya -terutama sains, adalah kecelakaan sejarah yang tanpa proses validitas diterima begitu saja. Renaissance Eropa memulai memisahkan antara sains di satu sisi sebagai ilmu dan agama sebagai dogma di sisi lain. Dalam sejarah pemisahan inilah yang perlu kita teliti, apakah pemisihan agama memang atas dasar unsur agama yang dimiliki agama Kristen saat itu ataukah hanya pada peran gereja yang semakin dominan dalam penentuan keilmuan saat itu. Sejarah pada dirinya tidak dapat menjadi alat validasi otonom tanpa seperangkat kejadian dan alasan di baliknya (yang menjadi penyebab).Benar bahwa agama adalah urusan subjektif. Namun tidak berarti bahwa agama tidak bisa diteliti dan dipelajari sama sekali. Layaknya Ilmu pengetahuan lain, agama pada dasarnya juga mempunyai seperangkat alat, metodologi dan sistem yang dapat dipersamakan dengan ilmu pengetahuan. Kalau dalam ilmu pengetahuan mengenal metodologi maka agama memiliki titus sebagai sarana pendekatan, dogma sebagai aksioma dan bentuk ekstrim mitos sebagai ideology dalam pengetahuan.AGAMA SEBAGAI ILMUDalam menjembatani agama sebagai ilmu, sekali lagi harus memperhitungkan seperangkat pengetahuan dan mental siap menerima dan membuang pra anggap bahwa agama adalah urusan ketuhanan belaka. Landasan Agama sebagai ilmu adalah keterpemenuhanan perangkat di dalamnya. Sebagai ilmu agama telah memprakarsai penemuan dan pembenaran metode empirisisme, objektifitas dan relativisme. Perangkat agama sebagai ilmu itu adalah:Pertama, pengalaman agama dalam kategori sains adalah pengalaman yang mampu diterangkan. Immanual Kant menyebutnya sebagai pengalaman noumena yang berlawanan dengan pengalaman fenomenal. Pengalaman noumena ini memiliki konsep dasar metaempiris. Seperti konsep ruang-waktu yang pada dataran konsepsional adalah metaempiris. Apakah kita mengetahui esensi ruang dan waktu? ruang dan waktu dalam wujud fenomenal diterima keberadaannya secara apriori bahwa waktu dan ruang mesti ada sebagai ukuran keberadaan manusia. Demikian juga pengalaman keberagaman manusia yang dapat dirasakan langsung walaupun sulit untuk ditunjukkan.Kedua, kesadaran Agama dapat diperoleh manusia ketika manusia mampu melepaskan dominasi sensualitas indrawi dan paradigma pemikirannya. Yang dimaksud di sini adalah sensualitas indrawi dan paradigma manusia akan selalu menarik manusia ke dalam unsur-unsur fisik yang dimilikinya dan paradigma yang membenarkan pemikiran-pemikirannya semata. Kesadaran agama dapat dilatih dan dapat diperoleh dengan latihan-latihan, seperti sembahyang, meditasi, shalat dan teknik-teknik agama yang lain yang mampu menetralisir peran dominan fisik dan pikiran seseorang.Ketiga, kepercayaan terhadap Agama adalah kepercayaan yang dimiliki oleh para ilmuan. Konsep relativitas dan keragu-raguan mengandaikan sebuah keyakinan, bahwa di balik keraguan pada dasarnya adalah sebuah keyakinan. Yakin terhadap keraguan itu sendiri. Orang yang ragu berarti sekaligus membangun keyakinan bahwa ada di balik keyakinan relativitasnya dan keraguannya sebuah keyakinan terhadap hal lain selain itu. Demikian pulalah keyakinan terhadap agama ada.Keempat, kondisi Intuisi yang dominan sebagai perangkat pembenar dalam agama adalah hal yang biasa, yang bisa dilatih dengan pembiasan rutin. Seorang pianis secara intuitif akan merasakan sebuah kesalahan dalam ritme karena terbiasa dan terlatih dengan semua not dan musik. Begitu juga intuisi keagamaan hanya membutuhkan pelatihan rutin dan pengasahan belaka. Lalu bagaimana membuktikan kebenaran kata-kata intuitif ini? Ignas Kleden menggambarkan dengan cantik kondisi ini, "kepercayaan seorang empirisme adalah kepercayaan terhadap alam bahwa alam ini tidak mungkin berbohong. hal yang persis juga terjadi pada kaum Agamawan bahwa tidak mungkin Tuhan juga membohongi hambaNya dengan pemberian intusi yang telah diberikanNya”. MustatokMahasiswa Pascasarjana ICAS-paramadina Jakarta Branch of ICAS-London, Aktif di The Indonesian Famous Institute dan Kelompok Studi Tlaga Hijau, Ciputat.Alamat Penulis, Gg. Tlaga Hijau, No 77 C, Kerta Mukti, Pisangan, Ciputat, 15419. Telp. 021 32678034 (081578785376)

Comments

penulis said…
wes dimuat di koran nasional, itu harus terpacu. maka, jangan pantang mundur. jgn putus asa. dalam dunia menulis, kesabaran dan kerja keras adalah dua hal yang harus kamu punyai. dan suatu saat kamu akan tahu arti kesabaran dan kerja kesar dari menulis di media massa, yang memang mudah, kadang juga sulit dan bahkan tak terduga....

awas, nek orang giat menulis lagi....
Mustatho said…
Ok, Hidup harus tetap ditatap dengan optimis, walau yang tampak hanya bongkahan kegagalan. seperti dalam bongkahan gunung batu yang tersimpan jamrud dan batu muliya.

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN

SOAL UTS Ushul Fiqih