PANCASILA YANG SEMAKIN LUPA DIRI


Judul di atas bukanlah sarkasme terhadap Pancasila sebagai pandangan Hidup bangsa Indonesia. Namun justru judul di atas bermasksud mendemarkasi antara Pancasila yang sejati (dengan penulisan P besar) dengan paham pancasila yang mengatasnamakan Pancasila, entah paham tersebut yang dihembuskan oleh pemegang kekuasaan dengan tafsir politik pancasilanya atapun pihak-pihak yang mencoba melegitimasi status dengannya.

Mencermati berbagai kejadian seputar Pancasila akhir-akhir ini, bangsa Indonesia dituntut untuk berpikir ulang sembari menerawang jauh ke belakang; bagaimanakah proses lahirnya Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara?. Dari hasil penerawangan tersebut tentunya setiap pribadi akan memiliki kesimpulan sendiri-sendiri, yang tidak semestinya dipertentangkan dengan istilah "salah dan benar", karena semuanya berlari seputar subyektifikasi Pancasila ke dalam pemahaman seseorang dan objektifikasi subjektifitas (pemahaman) seseorang ke dalam ranah objektif. Dan semuanya adalah sah dan dapat dibenarkan sebagai pribadi dan warga negara selama tidak memaksakan kebenaran paham masing-masing terhadap yang lain.
Garis merah yang jelas di dapat dari pemahaman terhadap Pancasila adalah: Pada dasarnya status Pancasila dalam dirinya –intrinsic adalah problematik, hal ini dengan berbagai alasan: pertama Pancasila menjadi pandangan hidup dan norma bangsa yang musti diikuti oleh setiap warga negara Indonesia, yang apabila seseorang mengakui tidak berpandangan hidup selain Pancasila, maka mereka tidak berhak hidup di Negeri ini. Namun karena norma Pancasila adalah norma umum maka interpretasi apapun terhadapnya bisa masuk dan menjadi sebuah tafsir legetimasi. Kedua Pancasila lebih dianggap sebagai lambang negara daripada pandangan hidup bangsa, hingga pancasila menjadi identik dengan pemegang kekuasaan, yang tafsiran tentang makna Pancasila melulu dilakukan oleh the owner of power, rakyat biasa hanya mampu menerima apa yang telah menjadi ketentuan baku atas makna Pancasila. Sebagaimana kasus penggunaan Pancasila sebagai lambang aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Tegal, Jawa Tengah, yang serta merta memantik amarah pemerintah dan langsung melarang penggunaannya. Dari persoalan di atas kemudian menganak-cucukan beberapa pertanyaan tambahan. Pertama, sebenarnya siapakah yang berhak memaknai (intpretasi atas) Pancasila? Kedua apabila pancasila disebut sebagai norma dan pandangan hidup Bangsa, bukankah seharusnya Pancasila mengakomodir setiap nilai dan budaya Bangsa? Tanpa membatasi dan mensekati pada jalur yang dianggap tidak sesuai dengan kebudayaan bangsa. Ketiga sipakah sebenarnya Bangsa ini ? –kalau ternyata ada pengakuan terhadap satu golongan dan penolakan terhadap golongan yang lainnya.

Interpretasi Ulang Pancasila
Selama ini dalam menafsirkan Pancasila yang ada hanyalah tafsiran monolitik dari pemerintah untuk diterima oleh setiap warga negara. Tafsiran ini cenderung mengkaburkan makna subtansial Pancasila. Sebagaimana Pancasila pernah mengalami penyimpitan makna yang dilembagakan dalam BP-7 dengan P-4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai bentuk tafsiran monolitik yang harus diikuti oleh setiap warga negara.
Penempatan Pancasila dalam monotafsir di atas meniscayakan pancasila hanya sebagai alat legetimasi kekuasaan belaka. Pancasila kehilangan elan vitalnya sebagai pandangan hidup bangsa yang mengayomi semua paham dan nilai-nilai yang bermacam ada di Indonesia. Pancasila kehilangan fungsinya sebagai pembangun nilai adi luhung jejer sesanding semua elemen bangsa.Untuk itu pemetaan ulang terhadap Pancasila adalah hal yang niscaya, tidak sekedar "dekonstruksi" tetapi sekaligus "rekonstruksi" sistem yang mengh

Comments

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN

SOAL UTS Ushul Fiqih