DEMISTIFIKASI CINCIN SULAIMAN
Resensi
Judul Buku : Sang Raja Jin, Menyingkap Rahasia Cincin Nabi Sulaiman
Penulis : Irving Karchmar
Penerjemah : Tri Wibiwo BS
Penerbit : Kayla Pustaka, Jakarta
Cetakan : I Februari 2008
Tebal : 295 halaman
Setiap manusia berjalan menuju kesempurnaan
(Musyawarah Burung, Fariduddin Attar)
Dalam sejarah kehidupan manusia, banyak folklore (cerita rakyat) dan cerita-cerita keagamaan yang dapat ditemukan menggantung, menghiasi dan membentuk pola pikir masyarakat penganutnya. Cerita-cerita ini kemudian turun temurun diiyakan tanpa ada usaha verifikasi. Yang parah adalah, kemudian cerita ini –yang tidak sedikit berasal dari sejarah manusia juga, kemudian melegenda dan sangat sulit diverifikasi. Anehnya usaha verifikasinya pun semakin kabur dengan mistifikasi dan mitologi yang justru direproduksi sebagian agamawan dan tokoh masyarakat. Pertanyaanya adalah apa yang dapat diperoleh dari sejarah ketika sejarah telah menjadi mitos?
Meskipun novel ini adalah novel mistis (sufi), namun novel yang berjudul asli Master of the Jinn; a Sufi Novel karya Irving Karchmar ini, hadir tidak untuk menjustifikasi, alih-alih menjadikan cerita Cincin Sulaiman sebagai mitos. Posisi novel ini bisa disebut sebagai novel sejarah, tentunya berbeda dengan novel sejarah biasa yang sekedar menghadirkan pengalaman eksoteris manusia di dunia ini, novel mistis ini berusaha menverifikasi –setidaknya menjadikannya logis, sejarah kekuasaan Nabi Sulaiman yang dipercaya semua penganut agama samawi. Novel ini diramu dalam sebuah perjalanan spiritual para tokoh dalam mengarungi dunia supra rasional, dunia spiritual yang sarat dengan pengalaman esoteris yang sulit diterima oleh akal sehat. Tokoh-tokoh yang dipersonifikasi
Kepuasan dalam dunia sufi, tidaklah ditemukan dalam makna materi. Semakin seorang pencari terbelenggu dan tidak bisa meninggalkan kebutuhan jasmaniahnya, maka semakin jauh harapan untuk menggapai kesalehan yang mereka citakan. Fariduddin Attar pernah menggambarkan dengan sempurna tentang fenomena perjalanan spiritual sufi ini. bahwa semakin seseorang menempuh perjalanannya, justru tidak semakin sedikit menemui keringanan. Selaksa kesabaran harus dimiliki oleh seorang salik (pencari kebenaran), untuk tidak gagal dalam pencariannya. Seribu burung dalam cerita musyawarah burung Fariduddin Attar, adalah analogi dari dahaga diri akan puncak spiritual dan penyatuan dalam kedalaman spiritual ilahi.
Modal-modal pencari jati diri dalam dunia sufi adalah menguliti diri dari segala ketergantungannya. Syair Ali Sahl Esfahani memaparkan, “aku mohon kekuasaan; kutemukan dalam pengetahuan, aku mohon kehormatan; kutemukan dalam kemiskinan, aku mohon kesehatan; kutemakan dalam kesederhanaan, aku mohon beban diringankan; kutemukan dalam diam, aku mohon hiburan; kutemukan dalam keputusasaan”.
Novel sufi ini, yang sekaligus ditulis oleh seorang Darwis penganut tarekat Nimatullahi ini, tak pelak bisa disebut sebagai novel fiksi bergenre mistis. Alur cerita utama novel ini sebenarnya berusaha menguak tentang sejarah kekuasaan Nabi Sulaiman. Novel ini berusaha menengahi mistifikasi Cincin Sulaiman yang dipercaya oleh hampir semua aliran sufi dari rumpun agama smith (Ibrahim). Cincin Sulaiman yang dicitrakan sebagai sumbu kekuasaan Nabi Sulaiman yang mampu menundukkan tidak hanya umat manusia, tetapi juga melingkupi kuasanya terhadap golongan Jin, air, udara, api, hewan dan semua makhluk serta unsur kehidupan yang ada di Bumi ini, semakin memperkuat fakta tentang sejarah kekuasaan Nabi Sulaiman yang pernah ada, yang tertulis di semua kitab agama bahwa kekuasaan Sulaiman pernah menguasai daratan dan peradaban manusia selama 40 tahun lebih.
Kepercayaan terhadap keberadaan Cincin Sulaiman yang melegenda di semua kitab suci agama samawi; Injil, Taurat, Talmud, Sejarah Josephus dan al-Qur’an. Hal inilah yang sekaligus menginspirasi novel ini. Bahwa legenda ini mampu menggiring para arkeolog dan ahli sejarah untuk tidak berhenti membuktikan kebenaran dan keberadaannya.
Diceritakan, Aaron Simach, Kapten dari kesatuan Mossad pernah memimpin misi untuk mencari keberadaan Cincin Sulaiman ini. Tim yang dipimpinnya terdiri dari sekelompok arkeolog Prancis, memulai pencarian dengan melakukan penggalian di dekat Gunung Haggar. Namun misi ini tidak berjalan mulus, misi ini seakan kena kutukan. Semenjak mereka keluar dari Jib untuk mencari jalan, mereka dipisahkan oleh ketidaktahuan arah, kompaspun sama sekali tidak membantu. Mereka berjalan tak tentu arah dalam gurun pasir yang luas. Kapten Simach sendiri diterjang badai Pasir, yang sungguh tidak bisa diduganya, yang kemudian karena keanehan badai ini menggiringnya pada sebuah gua yang tidak pernah terlihat oleh kasat mata sebelumnya. Di antara kebingungan dan ketidakberdayaannya, Kapten Simach seakan dibimbing oleh kekuatan aneh yang kemudian mempertemukannya dengan sesosok mayat dengan benda aneh yang selama ini belum pernah ia temui. Siapa yang bisa menolak apa yang dikehendaki-Nya dan siapa yang bisa mendapat apa yang tidak Dia kehendaki?. Posisi kapten Simach adalah sekian dari sejarah yang tidak dapat ditolak oleh manusia.
Artefak yang ditemukan kapten Simach berbentuk Bintang berujung enam yang sekaligus merupakan simbolisme religius kuno. Ujung enam dalam cincin ini memuat enam kekuatan gerakan dan arah utama yaitu naik (atas), turun (bawah), maju (depan), mundur (belakang), ke kiri dan ke kanan. Angka enam juga merupakan angka sempurna dalam kepercayaan kuno sebab dihubungkan dengan penciptaan dunia yang selesai dalam enam hari. Cincin ini juga memuat angka genap pertama, yakni angka 2, dan angka ganjil pertama, yakni 3. Sementara segitiga yang saling bertautan itu dalam prespektif sufi bukan hanya melambangkan dualitas maskulin dan feminism dari alam, tetapi juga bermakna perlambang akal aktif dan jiwa pasif yang berasal dari Tuhan. Hasil dari kesatuan keduanya adalah ciptaan dan harmoni alam semesta. Tidak berhenti di situ, arah ke atas dalam cincin Sulaiman adalah perlambang Api, sementara segitiga yang mengarah ke bawah adalah perlambang Tanah. Sintesis dari keduanya ini merupakan kecenderungan semua bentuk di alam raya ini, di mana segala hal yang bertentangan menyatu. Unsur-unsur yang ada dalam Cincin Sulaiman inilah yang mampu menempatkan Sulaiman mampu menguasai seluruh alam dan menjadi raja yang bijaksana.
Penemuan artefak kuno yang ada dalam genggaman kerangka Nabi Sulaiman oleh kapten Simach di sebuah gua ini memicu syaikh Haadi mengutus 7 muridnya untuk mencari pasangan peninggalan pusaka kuno ini; Pasangan Cincin Nabi Sulaiman.
Dengan dipandu seorang faqir sakti yang menguasai ilmu Nabi Khidir, perjalanan pencarian pasangan Cincin ini dimulai dengan mengarungi lautan luas, diterjang badai pasir siluman, dan terjebak di dalamnya. Dari badai ini, rombongan ketujuh orang ini akhirnya menemukan “kota yang hilang”. Perjalanan para pencari pun semakin menegangkan selepas mereka memastikan bahwa tanpa sengaja akhirnya mereka memasuki petualangan di negeri Jin. Ketujuh orang pencari ini terlibat pertarungan yang hebat antara Baalzeboul, si Raja Jin, melawan Ifrit, pemimpin Jin ingkar. Perjalanpun tidak terhindarkan dari huru hara. Bagaimanakah kemudian mereka mampu melepaskan diri dari sergapan Jin Ifrit dan menemukan kembali hazanah peninggalan Nabi Sulaiman yang sepasang cincin Sulaiman yang mampu memberi kedamaian dunia ini? novel ini semakin menarik untuk diikuti.
Novel ini selanjutnya lebih tepat dikatakan sebagai buku pelajaran bagi seorang yang berkehendak memasuki dunia Sufi. Karena di dalamnya prespektif sufi sangat kental menghias dan menentukan setiap sudut pandang masing-masing tokohnya. Profesor Freeman, seorang jenius ahli arkeologi, Rebecca putri professor Freeman yang seorang Tentara dan Kapten Simach adalah tiga karakter yang dipersonifikasi orang “luar”, namun ketiganya dalam perjalanan ini bagaimanapun ideologi mereka, tak pelak harus melebur ke dalam dunia sufistik yang hendak mereka lalui. Seperti yang diucapkan Fariduddin Attar, “apapun filsafat yang masuk di dalamnya, Samudra tetaplah Samudra”. Tidak mengherankan kemudian jika penulis mengetengahkan berturut-turut mulai dari Rebecca, Kapten Simach dan Profesor Freeman berbaiat ke dalam tariqah pimpinan Syaikh Haadi ini. Pasalnya, mengikuti jalan sufi, kunci utamanya adalah kepasrahan pada sang guru pembimbing (mursyid). Pengembaraan akan tidak berarti tanpa adanya satu kesatuan visi dan satu ketundukan bersama pada sang guru sufi ini.
Ditulis oleh Irving Karchmar, seorang darwis yang berbaiat Tarekat Sufi Nimatullahi sejak tahun 1992, novel ini terasa merupakan petualangan spiritual pribadi penulisnya. Meskipun Irvin adalah penulis produktif, namun dalam dunia novel, penulisan novel Master of the Jinn ini adalah debut pertamanya. Karya debutan ini kemudian menjadi master piece bagi Irvin, karena mampu mengundang decak kagum dari berbagai kalangan, terutama para pejalan spiritual. Novel ini sekaligus menjadi karya best seller internasionalnya, yang telah diterjemahkan tak kurang ke dalam tujuh bahasa; Jerman, Rusia, Spanyol, India, Turki, Jepang dan Indonesia. Novel ini terasa penting karena mampu mengisi kekadahagaan para pembaca novel yang cenderung jenuh dengan derasnya novel fiksi yang tidak berbobot. Irvin sendiri kemudian menetapkan hati untuk melanjutkan langkah dan citanya menjadi penulis karya-karya spiritual, guna mengobati dahaga dunia akan spiritualitas.
Mustatho’
Pecinta Novel, Alumnus UIN Sunan Kalijaga, aktifis The Indonesian Famous Institute Jakarta.
Alamat: Jl. Legoso Raya, RT. 03/07 No. 28, Pisangan, Ciputat, 15419.
0815-78785376
Email. tatok.m@gmail.com. Blog http//mustathok.blogspot.com
Comments