ISLAM ARAB DAN GERAKAN TRANSNASIONAL WAHABI
Penulis : Hamid Algar
Penerbit : Paramadina Jakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal Buku : 154 halaman
Peresensi : Mustatho
Sebelum paham modernisme membawa kesadaran nation-state ke dunia Islam, Islam adalah ikatan komunal yang tak terpilahkan. Konsep ummat wahidah menggariskan persatuan di manapun seorang muslim berada. Konsepsi ‘satu ummat’ menafikan ruang dan waktu sebagai jarak pemisahnya. Sistem pemerintahan Islam khilafah memperkukuh gambaran ketiadaannya batas kenegaraan ini. Karena semua negara adalah bagian dari negara Islam yang mengakui ketertundukan pada satu amir (khalifah) sebagai puncak kepemimpinan kenegaraan dalam Islam. Kekhalifahan terakhir runtuh pada awal abad ke-18 di Turki.
Keruntuhan khilafah terakhir ini sekaligus menandai kemunduran Islam. Pada tahun 1744 M di Arabia Tengah, seorang yang bernama Muhammad ibn Abd al-Wahab dengan sokongan keluarga kerajaan Su'ud, Emir setempat dari Dar'ijah memulai suatu pergerakan pembaharuan berdasarkan mazhab Hambali yang sederhana dan pelajaran anti Sufi dari ibn Taimijah pada abad keempat belas. Pergerakan Wahabi ini (sebagaimana pergerakan ini seterusnya terkenal) pertama-tama ditujukan menghadapi kemunduran etika Islam dan kemerosotan agama di pedesaan dan pada suku-suku Arab, mengutuk keta’jizam pada orang-orang yang dianggap suci dan bid'ah-bid'ah. Penyelewengan yang ada dinilai sebagai kekufuran, dan pada akhirnya gerakan purifikasi ini menyerang mazhab-mazhab lain karena berkompromi dengan apa yang mereka sebut sebagai bid'ah dan khurafat yang dibenci itu.
Buku Wahabisme: Sebuah Tinjauan Kritis karya Hamid Algar ini menggambarkan pergerakan Wahabi dalam perjuangan menguasai Jazira Arab dan lebih jauh menundukkan dunia Islam ke dalam satu ideologi Wahabisme. Dengan semangatnya untuk mengembalikan kesucian iman dan kesederhanaan Islam, melalui pangeran-pangeran Su'udi paham Wahabisme dilancarkan. Pangeran-pangeran Su’ud memulai dengan memerangi tetangganya, dan setelah menundukkan Arabia Tengah dan Arabia Timur, menyerang propinsi-propinsi Dinasti Osman di bagian utara dan syarif-syarif turun temurun dari Mekkah di Hijaz. Karbela di Irak telah dirampas habis-habisan dalam tahun 1082, Mekkah akhirnya ditundukkan, diduduki, dan "dibersihkan" pada tahun 1806.
Wahabisme sendiri merupakan kelompok keagamaan yang mengusung paham kembali kepada otentitas Islam yang bersumber pada dua hal; al-Qur’an dan Sunah Nabi. Dengan pola purifikasi ini, menurut HAR Gibb, Islam kemudian tergambar bersifat tidak luwes dengan ekses-ekses yang menakutkan, termasuk bagi umat Islam sendiri dengan belahan paham yang berbeda. Tak heran jika kemudian banyak sarjana dan sejarawan Barat lain yang menilai bahwa Wahabisme sering kali menjadi inspirasi terhadap aksi-aksi terorisme yang dilakukan oleh kelompok puritanisme Islam.
Kemunculan paham Wahabi ini pada dasarnya adalah respon yang mengambil bentuk ekstrims lain akan kekalahan dunia Islam terhadap Barat. Respon ekstrims Wahabi ini pada asalnya ditujukan kepada kelompok Islam lain yang terlebih dulu merespon kemunduran dunia Islam dengan sikap totalitarian dengan bentuk-bentuk amalan tarekah dan laku sufi. Fase kecenderungan masyarakat muslim terhadap tasawuf ini kemudian disebut sebagai fase kemunduran dunia Islam, dan tidak sedikit dari sejarawan Islam kemudian yang menilai Al-Ghazali sebagai penyebab utamanya. Dengan melihat polah Al-Ghazali yang menghakimi filsafat sebagai larangan dalam Islam dengan Tahafut al-falasifahnya.
Penolakan Wahabisme terhadap golongan sufiyin dan praktek tarekat ini didasari pada tiga ajaran utamanya. Pertama pengakuan bahwa hanya Allah semata yang memiliki sifat ketuhanan (tawhid al-rububiyah). Kedua, hanya Allah yang memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang disebut dalam al-Qur’an, tidak boleh dipakai oleh siapapun (tawhid al-asma wa al-sifat). Ketiga, seluruh ibadah umat Islam hanya ditujukan pada Allah (tawhid al-ibadah). Dalam pandangan Muhammad bin Abd Wahab, pencetus gerakan purifikasi Islam ini, dalam ketiga bentuk tawhid inilah yang membedakan antara orang Islam yang bertauhid dan orang Islam yang bisa dinyatakan kufur (keluar dari Islam). Tak pelak semua amalan yang keluar dari ketiga konsep utama tawhid ini bisa dikategorikan sebagai bid’ah. Dari sini, tak segan bagi mereka untuk memerangi dan menumpas pelaku bid’ah. Karena menurut mereka bid’ah dalam Islam adalah hal yang haram dan dilarang.
Transnasionalisme Gerakan Wahabi
Fenomena trans national Islamic movement akhir-akhirnya ini seakan menemukan momentumnya di Indonesia. Sebuah gerakan “tanpa ruang dan batas kewilayahan nation state” ini menelusup ke dalam ruang rentan keagamaan
Dalam bahasa Fazlur Rahman, gerakan transnasional ini disebut juga sebagai gerakan neo-revivalisme, yang kemunculannya dilatarbelakangi oleh respon negative dunia Islam terhadap praktik-praktik internasional yang kerap berlaku kasar dan penuh stigmatisasi terhadap simbol-simbol Islam. Inilah yang kemudian oleh Hasan Hanafi dalam oksidentalisme (2002) disebut sebagai salah satu bentuk anomali kesadaran terhadap yang lain (al-akhar). Namun yang tidak dapat disanggah juga, terkait dengan suburnya penerimaan terhadap mengguritanya gerakan transnasional ini, adalah kerinduan sebagian masyarkat muslim terhadap nilai-nilai keberagamana yang telah terhempas di tengah kehidupan social politik mereka (kesadaran al-anani).
Menurut Khaled Abu al-Fadl dalam The Great Theft: Wrestling Islam from Extremist (2005), sekurang-kurangnya ada empat factor yang menyebabkan gerakan transnasionalisme Wahabi ini mengada. Pertama, semangat nasionalisme Arab, kedua upaya mereka untuk mengembalikan Islam kepada pengertian yang asli dan murni (as-salaf as-salih), ketiga kendali mereka terhadap Mekkah dan Madinah, dan keempat adalah penemuan dan pemanfaat sumber Minyak di Arab Saudi.
Sebagaimana al-Fadl, Algar dalam buku ini juga mengatakan bahwa kekayaan minyak yang melimpah yang dimiliki Arab Saudi, pada akhirnya membawa Arab Saudi pada kampanye sistematis dalam rangka penyebaran paham Wahabi di kawasan muslim dan berbagai belahan dunia lainnya. Di antaranya dengan menciptakan sejumlah system bantuan financial berskala dunia, memberi bantuan yang melimpah bagi mereka yang menyokong paham Wahabi, dan bantuan Cuma-Cuma pendidikan dengan melalui pemberian beasiswa pendidikan, buku-buku gratis, dan sumbangan untuk pembangunan masjid dan pesantren yang diikuti dengan pembinaan dan pengkayaan visi Wahabiisme. Tidak sedikit masjid yang dibantu total, namun pada akhirnya dilarang melakukan aktifitas-aktifitas yang tidak sesuai dengan paham mereka.
Mustatho’, Dosen STAI Bina Madani Tangerang.
Alamat Jl. Legoso Raya, RT. 03/07 No 28, Pisangan, Ciputat, 15419.
Hp. 0815 7878 5376
Blog. http//.mustathok.blogspot.com
Email. tatok.m@gmail.com
Comments