MEMAKNAI BUDAYA RAMADHAN

Mustatho’

Jauh-jauh hari sebelum bulan suci Ramadhan 1429 H ini datang, ‘aroma’nya dapat diprediksikan melebihi bulan suci Ramadhan tahun lalu. Apa pasal, bulan Ramadhan kali ini memang spesial, tidak hanya bagi kalangan elit politik –yang bisa memanfaatkan momentumnya untuk kepentingan Pemilu 2009, tetapi juga bagi kalangan yang berprofesi sebagai guru, dengan dikeluarkannya Inpres tanggal 13 Agustus 2008 tentang pemenuhan 20 % anggaran pendidikan dari APBN, yang berimbas pada kenaikan gaji mereka. Lebih spesial lagi makna puasa kali ini tentunya bagi trio bomber Bali, Amrozi cs yang mendapatkan penundaan hukuman matinya.

Terlepas dari apapun moment yang menyertai kedatangan bulan suci Ramadhan kali ini, secara intrinsic bulan suci Ramadhan adalah special dalam dirinya sendiri, dengan ataupun tanpa sesuatu –apapun itu, yang mengirinya. Bulan suci Ramadhan adalah syahrun mubarak (bulan yang penuh berkah), yang di dalamnya sekaligus menjadi media ampunan (yaum afwa), dan penjauhan dari api neraka (itqun min al-nar), bagi yang melaksanakannya.

Makna Pemberdayaan

Pada bulan Ramadhan, seperti biasa, semua orang muslim berlomba-lomba untuk menyambut dan melaksanakannya dengan seabrek agenda ibadah. Tak pelak, Masjid, Mushola, majlis ta’lim dan tempat-tempat ibadah tidak pernah ditemui dalam keadaan sepi dari umat Islam yang berharap pada keutamaan pahala bulan Ramadhan. Pelaksanaan ibadah ini kemudian menjadi semakin semarak dengan banyaknya paket-paket ibadah dan kajian keislaman yang ditawarkan, baik oleh organisasi keagamaan dan kemasyarakatan –semacam NU dan Muhammadiyah, lembaga pendidikan Islam –pesantren, bahkan sampai tawaran acara di media elektronik (TV dan Stasiun Radio).

Umat Islam tentunya akan berbangga melihat fenomena ini, kegairahan Ibadah terasa di mana-mana. Pertanyaannya adalah seberapa jauhkah kegairahan ibadah di bulan Ramadhan ini mampu membentuk pribadi saleh –saleh personal dan sosial, tidak hanya pada saat dan terbatas di bulan Ramadhan saja, tetapi juga sekaligus mencipta pribadi dan masyarakat baru, masyarakat yang bertakwa (muttaqin), sebagaimana harapan agama?.

Secara logis-konsekuensional, hal inilah yang seharusnya terjadi. Agama tidak mungkin memerintahkan sesuatu dengan kesia-siaan, atau dengan kata lain adalah mustahil bagi Allah menghimbau pemeluknya pada sesuatu yang tidak mungkin tercapai. Idealnya masyarakat muttaqin adalah perolehan logis dari pelaksanaan puasa di bulan Ramadhan. Lalu kemudian, mengapa di Indonesia tidak juga terbentuk masyarakat muttaqin? Sangat ironis memang, melihat tingginya gairah pelaksanaan Ibadah puasa Ramadhan di tiap tahunnya, tetapi ternyata fenomena korupsi juga tetap marak dilakukan oleh orang-orang Islam sendiri. Bulan suci Ramadhan –sebagai media pensucian, seakan sia-sia. Anjuran untuk meningkatkan amal saleh di bulan Ramadhan cenderung tertuju pada konsep aktsarul ’amal (amal yang terbanyak) dan bukan pada ahsanul ’amal (amal terbaik).

Jawaban atas pertanyaan ini tentunya berpulang pada diri masing-masing pihak, namun kemudian apakah kita akan diam tanpa berusaha menjelaskan bagaimana konsep muttaqin ini bisa dibentuk dan diperoleh?. Dalam kaedah fiqih disebutkan maa laa yatiimul wajib illa bihi fahuwa waajibun. Mafhum muwafaqah dari kaedah ini adalah mendiamkan sesuatu yang dengannya sebuah kewajiban tidak terlaksana dengan sempurna adalah haram hukumnya. Hal ini berarti, harus ada secara logis penjelasan bagaimanakah konsep muttaqin dari pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan ini diperoleh.

Konsep muttaqin sebagai perolehan terakhir dari ibadah puasa di bulan Ramadhan adalah konsep pemberdayaan psikologis, yang terbentuk melalui pembelajaran selama bulan Ramdhan. Ibadah puasa –yang disertai ibadah-ibadah lain (tarwih, tadarus, dan ibadah sunnah lain), yang dilaksanakan selama 29-30 hari, adalah medan rekayasa yang berkecenderungan untuk merubah nilai masyarakat melalui pola-pola ajegnya. Pola ajeg ini jika dilakukan dengan benar dan continue maka akan membentuk kebiasaan (habit) positif, yang diperoleh dengan berinteraksi langsung dalam lingkungan ibadah. Interaksi langsung inilah kemudian yang membentuk culture takwa yang diidamkan oleh setiap muslim yang melaksanakan puasa.

Maqam takwa sendiri adalah sebuah perolehan simultan yang terus menjadi dan membutuhkan proses pemberdayaan yang berkesinambungan. Hukum psikologis pemberdayaan ini dapat digambarkan, sebagaimana hukum psikologi conditioningnya J. peaget, bahwa jika seorang manusia sekali saja melakukan kebaikan atau kejahatan, maka kesempatan untuk mengulangi perbuatan yang serupa semakin bertambah, sementara untuk melakukan perbuatan yang berlawanan semakin berkurang. Dengan terus menerus melakukan perbuatan yang baik selama Ramadhan dan konsisten setelahnya, maka dapat dipastikan seorang yang beriman hampir saja tidak bisa melakukan hal yang berlawanan; bahkan untuk sekedar memikirkannya sekalipun. Logika inilah yang secara psikologis ada dibalik pola pemberdayaan puasa bahwa “tujuan puasa adalah membentuk pribadi yang bertakwa”. Tak pelak, kepada makna inilah dikembalikan semua prosesi ritual ibadah puasa Ramadhan kita, hingga tujuan puasa (muttaqin) bukanlah konsep yang kabur dan sulit untuk diraih.

Makna Aksi

Tidak sekedar memberdayakan, Puasa yang merupakan ibadah paling tua dalam peradaban manusia, pun demikian bagi umat Islam, puasa yang menjadi ibadah paling istimewa ini merupakan kesempatan mengaktualisasikan nilai-nilai saleh dan potensi berbuat yang terbaik (ahsan al-amal) tanpa menimbang pamrih dan menghendaki publisitas. Sebagaimana disebutkan dalam hadis qudsi “puasa adalah untuk-Ku (Allah) semata, dan Akulah yang menanggung pahalanya”. Kerahasiaan puasa di sini merupakan nilai plus yang tidak ditemukan dalam ibadah lainnya. Hadis ini sekaligus bermakna bahwa muatan puasa secara subtantif hanya mempunyai dua tendensi, yakni kesadaran transcendensi dan internalisasinya. Internalisasi moral transcendental (Allah) langsung pada pribadi manusia.

Nilai transcendental ini dalam konsepsi teologis menempati puncak pyramid tertinggi dalam peribadatan dan kepercayaan pada Tuhan. Dalam al-Quran diterangkan mereka yang beriman dan bertakwa “adalah mereka yang mengimani kepada hal-hal yang gaib” (2:3). Percaya pada hal yang gaib dan menginternalisasikannya ke dalam diri inilah yang mampu menjaga seorang yang beriman tetap pada posisi takwanya untuk kemudian memunculkan spirit keagamaan secara langsung yang mampu memberikan pengaruh perilaku hidup secara nyata. Sekali lagi konsep internalisasi “yang gaib”lah yang hanya mampu mensterilisasi niatan aksi dari perbuatan baik di bulan Ramadhan kita. Siapa yang perduli dengan sanjungan terlebih hinaan, ketika tujuan ibadah seorang muslim melebihi hal-hal fisik dan inderawi. Bulan suci Ramadhan menjadi tonggak amalan sirri bagi setiap pelaksananya.

Ajaran agama yang telah merasuk, mengendap dan kemudian dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari, merupakan pemahaman yang bisa dianggap paling mendekati sempurna, adalah hasil dari olah internalisasi nilai transcendental ilahiyah yang diperoleh dari filosofi sirri puasa. Pemahaman inilah yang mampu membentuk moralitas agama yang berkomitmen pada tindakan nyata dengan amal saleh, peduli pada sesama tanpa mengenal orientasi nilai untung-rugi. Dengan kepedulian dan aksi nyata inilah Islam membedakan umatnya. Di dalam al-Qur’an disebutkan “mereka yang tidak mempunyai kepedulian terhadap agama sebagai orang yang mendustakan agama” (al-ma’un;1-3). Tak salah apa yang dikatakan Asghar Ali Enginner (Islam and Its Relevance to Our Age, 1993); bahwa “orang ‘kafir’ bukanlah mereka yang berada di luar dan menentang agama Islam, tetapi mereka yang tidak memperhatikan tetangganya yang sedang kelaparan”. Hasil dari puasa kita adalah kepedulian dan sekaligus tindakan nyata untuk menolong sesama. Wa Allahu a’lam.

Mustatho’, Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, saat ini Dosen STAI Bina Madani Tangerang.

Alamat Jl. Legoso Raya, RT. 03/07 No 28, Pisangan, Ciputat, 15419.

Hp. 0815 7878 5376

Blog. http//.mustathok.blogspot.com

Email. tatok.m@gmail.com

Comments

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN

SOAL UTS Ushul Fiqih