PESAN DAMAI DARI AGAMA
Mustatho
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Opini Agama Dimuat di Media Indonesia, Jumat, 22 Agustus 2008
Apakah sebenarnya peran agama di dunia ini? Apapula kontribusi positif bagi kemanusiaan?. Tampaknya pertanyaan semacam ini dalam filsafat agama belum terjawab secara tuntas. Karena kenyataanya secara operasional, manusia sebagai pemeluk agama, justru terjatuh pada jargon-jargon luaran yang diidentifikasi sebagai agama, sekaligus merebutkan perlambang kebenaran agama ini. Agama kemudian menjadi hal-hal yang harus dibenarkan secara simbolik dan menjatuhkannya ke dalam pergumulan dengan tindakan-tindakan frontalnya. Tak pelak orang justru ngeri, ketika berbicara makna agama dan menghindari debat tentang kebenaran agama. Pertanyaannya kemudian adalah kemanakah agama yang dulu merupakan tempat berteduh terakhir bagi kenestapaan manusia dan tempat menyandarkan kerinduan pada perdamaian ini?
Tak dapat dipungkiri, salah satu fungsi agama adalah sistem atur nilai dalam kehidupan manusia, yang di dalamnya berisi aturan tindakan dan sikap, baik berhubungan dengan persoalan kemanusiaan (horisontal) maupun tindak dalam kepercayaan kepada penciptanya (vertikal). Dalam Islam sistem atur nilai ini kemudian diformulasikan dalam bentuk formalnya yang terpatri dalam berbagai kitab fikih dengan beragam alirannya. Di Indonesia sendiri, secara umum menganut pada empat aliran fikih utama yakni; Syafii, Hambali, Maliki dan Hanafi. Masing-masing fikih ini mempunyai karakter berbeda dalam menformulasikan hukum Islam ke dalam ranah operasional. Imam Syafi’i akan lebih moderat dari pada Imam Hambali, ataupun Imam Maliki yang secara nyata lebih rasional dari pada imam Hanafi.
Perbedaan formulasi ini terkait erat dengan keilmuan dan setting sosial di mana para imam Madzhab ini hidup dan menformulasikan fikih mereka. Namun pertanyaannya kemudian, kenapa selama ini fikih masih dicitrakan sebagai seperangkat aturan normatif yang rigid?. Mengapa perbedaan fikih dari para imam Madzab ini tidak cukup sebagai contoh bagaimana normatifitas hukum Islam dapat beralih, berkembang juga berubah sesuai dengan berbagai bentuk masyarakat yang ada. Pun Imam Syafi’i pernah mengkodifikasi dua kitab fikihnya; qaul kadim dan qaul jadid sebagai bentuk penyesuaian tempat dan keadaan yang berlainan.
Di dalam diskursus fikih, dikenal sebuah kaedah “taqhayuru al-Ahkam bi taqhayiri al-Azlam” (Hukum itu berubah sesuai dengan perubahan zamannya). Sebaliknya, akan menghasilkan kekakuan pandang bagi pemeluknya bila menganggap bahwa normatifitas Islam adalah aturan mati yang harus terpatri seperti apa adanya ketika ajaran ini hadir di masyarakat masa lampau. Hal ini sama dengan menghakimi ‘haram’ terhadap perkembangan pemikiran kemanusiaan. Bukankah fenomena kemanusiaan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan kedewasaan pemikiran mereka? Menghadirkan agama sebagai seperangkat kekakuan normatif akan menghilangkan peran konstruktifnya bagi kemanusiaan. Jika demikian adanya, tidak ada jaminan agama akan sanggup bertahan lama. Agama lambat laun akan ditingkalkan pemeluknya. Karena manusia masa depan akan beralih pada nilai-nilai Universal lain, yang lebih bisa dijadikan rujukan.
Persoalan besar umat Islam saat ini adalah mengembalikan Agama Islam ke dalam seperangkat aturan normatif universalnya, yang mampu mengukuhkan umatnya dalam membina dan mensejahterakaan umat manusia dan lingkungan yang ditempatinya. Umat Islam harus mampu mengembalikan agama Islam pada spirit awal penurunannya, yakni sebagai counter terhadap kebobrokan kemanusiaan dan kerusakan yang ditimbulkannya. Ajaran etis Islam dalam hal ini bukanlah ‘menghakimi’ kekeliruan yang ada, tetapi melakukan konsolidasi ke dalam, dan melakukan persuasi penyadaran secara simultan kepada semua pihak. Inilah yang dapat dicontoh langsung dari seorang manusia pilihan, Muhammad saw, dengan lebih memilih menerima hinaan dari penduduk Mekkah dari pada membalas kebodohan dan ketidaktahuan mereka.
Etika Damai Dalam Agama
Semua agama tentunya mempunyai konsern terhadap aspirasi atau keinginan pemeluknya. Agama adalah cawan harapan dan juga tujuan yang dicita-citakan oleh setiap manusia. Dalam beragama, penganut agama punya rasa keinginan untuk mengetahui apa yang terjadi nanti (kejadian alam, kecelakaan, kematian dll.), mereka juga punya keinginan untuk mengekspresikan hubungannya dengan Tuhan (ibadah dan kegiatan ritual keagamaan lainnya), dan pada akhirnya mereka semua menginginkan reward atau tujuan yang akan dicapai setelah melakukan semua aturan dan norma yang ada (surga ataupun neraka).
Aturan dan norma-norma yang ada dalam agama ini akan berhasil jika semua pengikutnya menjalankannya. Untuk itu, agama memerlukan satu etika (ethos) yang kemudian bisa menumbuhkan kesadaran bagi pengikut agama guna menaati semua aturan yang ada. Etika dalam agama juga berfungsi sebagai rasionalisasi suatu agama kepada penganutnya. Pula, etika memberikan legitimasi bagi peraturan agama sehingga dapat dijalankan oleh penganutnya. Mak Weber berpendapat bahwa etika agama mempunyai pengaruh yang sangat signifikan, penganut agama akan merasa berdosa jika tidak mengerjakan aturan dalam suatu agama (konsep kewajiban).
Etika sendiri secara luas bermakna mencabang -namun tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya, yakni pertama etika yang bermakna keharusan beragama yang menitik beratkan pada pelaksanaan kewajiban-kewajiban beragama. Konsep ini dalam filsafat etika dikenal dengan konsep etika deontologi.
Etika deontologi dalam beragama ini tidak bisa berjalan dan akan timpang tanpa etika keduanya yakni etika teleologis. Etika teleologis dalam beragama adalah memperoleh kebaikan, mengamalkan kebaikan sebagai wujud dan tujuan dari seorang pemeluk agama melaksanakan kewajibannya kepada Tuhannya. Inilah yang dikatakan dalam Islam mengapa “Shalat mampu mencegah dari berlaku keji dan mungkar”.
Karena tujuan Shalat dalam Islam tidak sekedar taat kepada agama (saleh personal), tetapi tujuan di baliknya adalah tumbuhnya kesadar bertindak baik kepada sesama (saleh sosial). Dua etika ini berujung pada satu muara yakni, bertindak baik terhadap sesama adalah cerminan dari ketaatan formal (menjalankan kewajiban) dalam beragama.
Menjalankan kedua etika agama inilah yang dapat menghantarkan setiap pemeluknya untuk mendapatkan perolehan tertinggi sebagai hasil penghambaan mereka, yakni keselamatan setelah di dunia ini. Daya tawar ini hanya bisa diperoleh dalam agama dan menjadikan agama sebagai satu-satunya pilihan di tengah berbagai ideologi dan pilihan jalan hidup yang ansich berbicara tentang ke disinian (dunia) saja. Agamalah satu-satunya pilihan yang mempunyai aturan dan sistem yang compatible (cocok) dengan karakter manusia. Agama sebagai sistem sosial mengakomodasi semua level kebutuhan manusia yang meliputi dimensi emperis, rasional dan intuitif manusia.
Email: tatok.m@gmail.com , blog - http//www.mustathok.blogspot.com
Telp. 0815 7878 5376
Sekaligus Dimuat di Waspada Online, Citizen Journalizm,Jumat, 22 Agustus 2008
Comments
trim.
Mas aris