MENCERMATI PENYELENGGARAAN MANAGEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

Kolom Guru
Oleh Mustatho’

Penyakit patologi birokrasi yang terus menjangkiti dunia pendidikan di Indonesia mengakibatkan pendidikan tidak menemukan formulasi manajemen yang tepat dan relevan di tengah-tengah rendahnya kualitas dan mutu pendidikan Indoneasia. Terbukti berbagai upaya inovasi dan perbaikan sistem serta manajemen pendidikan mulai dari desentralisasi pendidikan, otonomi sekolah, hingga manajemen berbasis sekolah (MBS) yang telah digagas pemerintah sampai saat ini ternyata tidak mampu mendongkrak mutu pendidikan nasional. Akhirnya yang terjadi daya saing output pendidikan kita tergolong lemah dibandingkan dengan negara-negara lain. Kualitas pendidikan di Indonesia menempati urutan ke 33 dalam daftar kualifikasi pendidikan di dunia.
Isu rendahnya kualitas pendidikan ini kemudian melebar pada ranah subtansial, yakni ketidakmerataan mutu pendidikan yang ada, antara sekolah kota, desa, negeri-swasta bahkan lebih lebar ada distingsi yang sangat kentara antara sekolah umum dan sekolah madrasah. Bias kualitas sekolah ini kemudian melahirkan pandangan binner masyarakat tentang kualifikasi lembaga pendidikan. Tak salah ketika mereka lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah negeri dan sekolah umum yang masuk jejaring Diknas ketimbang memberdayakan sekolah swasta dan madrasah di sekitar mereka. Persolannya kemudian adalah, setelah keluarnya Inpres No 13 Agustus 2008 tentang dipenuhinya anggaran pendidikan 20 % dari APBN, bisakah menjadi jaminan, persaingan sehat terjadi? Dengan pemerataan mutu pendidikan yang menjamah ke semua level dan jenis pendidikan yang ada? Yang tidak membedakan sekolah kota, desa, negeri, swasra, umum ataupun madrasah?
Mengawal Amanah UUD
Orientasi dasar pendidikan di Indonesia yang direformasi adalah dalam rangka untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat Indonesia yang berdaya dan demokratis, terilhami dari semangat demokrasi di Indonesia yang secara tidak langsung mempunyai kosekuensi logis adanya masyarakat yang setiap anggotanya mempunyai keberdayaan untuk mandiri dan sadar akan hak-hak dan kewajibannya.
Masyarakat Indonesia mempunyai visi ke depan menuju kepada masyarakat yang ingin mewujudkan nilai-nilai dasar manusia yang meliputi hak dan kewajiban seseorang sebagai warga negara yang baik, yang oleh Nurcholis Majid disebut dengan masyarakat Madani atau civil society. Dalam hal ini Nurcholish Majid berpendapat bahwa masyarakat madani sangat ditentukan oleh sejauh mana kualitas civilit society ini melingkupi warga negara. Jika hal ini terlaksana maka secara tidak langsung kualitas SDM dalam dunia pendidikan di Indonesia terbenahi, baik input maupun output yang dihasilkan dari suatu lembaga pendidikan akan bisa diandalkan dan dipertanggungjawabkan kualitasnya.
Kondisi sistem manajemen pendidikan di Indonesia dengan sistem berbasis pusat pada masa orde baru yang di anggap melemahkan kualitas pendidikan di Indonesia terjawab pasca rontoknya nilai-nilai otokrasi Orde Baru dengan adanya Reformasi yang melahirkan visi baru mengenai kehidupan masyarakat lebih sejahtera dengan pengakuan hak-hak asasi manusia, hak politik, dan hak masyarakat, menuntut kemudian adanya desentralisasi atau otonomi daerah sebagaimana yang tertuang pada UU No.22 Tahun 1999, yang secara tidak langsung memberikan angin segar bagi pendidikan di Indonesia untuk lebih berinovasi.
Reformasi di atas, khususnya dalam bidang pendidikan, menuntut kemudian adanya peninjauan kembali prinsip-prinsip manajemen yang digunakan selama ini dalam pendidikan. Dengan adanya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah RI No.25 tentang Kewenangan Pemerintah (Pusat) dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, dan bukti-bukti empirik yang menunjukkan bahwa manajemen berbasis pusat yang diterapkan pemerintah selama ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kurang optimalnya kinerja sekolah, maka perlu diadakan reorientasi manajemen yang bertujuan mengevaluasi manajemen pendidikan yang selama ini berlaku, dan memberikan formulasi baru dan relevan dengan UU No.22 Tahun 1999.
Manajemen berbasis sekolah –yang kemudian disebut MBS-, adalah solusi pendidikan yang berbasis potensi lokal. Esensi MBS ini adalah otonomi sekolah, yang memberi kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolahnya menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. MBS sendiri berangkat dari keprihatinan system pendidikan yang bias, yang selama ini terpusat dan jauh dari kondisi nyata dimana sekolah ini ada. Dalam MBS kontrol pemerintah sangat dibatasi dan memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada sekolah untuk menentukan sendiri bagaimana kurikulumnya, bagaimana mengelola sumber daya manusia (SDM)-nya, dan mengendalikan sekolahnya. Dengan MBS inilah sekolah mampu menjadi lembaga mandiri dan mengembangkan bakat serta potensi warga sekolahnya sesuai dengan keadaan dan kebutuhan yang mereka idamkan.
Pemerataan Anggaran Pendidikan 20 %
Pada tahun 2006, Cina menyisihkan 13% dari total anggaran nasionalnya untuk pendidikan, India 12%, Filipina 17%, Malaysia 20%, Hong Kong 23%, dan Thailand 27%. Sebagai bandingan, anggaran pendidikan Indonesia pada tahun 2006 yang lalu masih berkutat pada 10% anggaran belanja nasional pemerintah, walaupun kemudian ada kenaikan kecil menjadi 10.2% untuk draft anggaran tahun 2007.
Alokasi yang tidak seimbang tersebut sesungguhnya membuat bangkrut sistem pendidikan umum di Indonesia. Sebagai contoh, statistik resmi menyebutkan bahwa biaya riil pendidikan untuk tahun 2005 adalah sebesar Rp 71 triliun (US$7 milyar), jauh di atas anggaran sebesar Rp 21.38 triliun yang dianggarkan oleh pemerintah. Amandemen UUD 45 yang dibuat tahun 2002 telah memberikan mandat kepada pemerintah untuk membelanjakan 20% dari total anggaran belanja tahunan untuk sektor pendidikan. Amanah ini kemudian direalisasikan ke dalam UU Sisdiknas tahun 2003. Namun sangat ironis, amanah UUD ini baru berusaha direalisasikan pada tahun 2008 ini, itupan setelah MK mengeluarkan ‘himbauan’ kepada pemerintah untuk mentaati amanah UU ini. Namun setidaknya Inpres No 13, Agustus 2008 dapat menjadi preseden yang baik dalam mengembangkan pendidikan yang bermutu, merata di seluruh Indonesia.
Atas permasalahan pendidikan ini, setidaknya para pemerhati pendidikan di Indonesia menyepakati bahwa penyebab amburadulnya pendidikan ini tidak terlepas dari lemahnya sistem menejemen pendidikan yang ada. Kelemahan sistem menejemen pendidikan ini dapat dibingkai ke dalam tiga maping utamanya, yakni pertama, kebijakan dan manajemen pendidikan nasional yang terlalu asyik menggunakan pendekatan educational production function atau input-output analysis dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal dengan berfikir pendekatan sistem, baik input, proses, output, maupun outcome semuanya harus diperhatikan secara profesional dan proporsional.
Kedua, manajemen pendidikan nasional masih cenderung dikelola dengan pendekatan biroktratik-sentralistik sehingga kebebasan pelaksana atau manajer pendidikan sangat bergantung pada keputusan birokrasi yang sangat berbelit-belit dan sarat hegemonik.
Ketiga, peran serta orang tua/wali siswa atau masyarakat dalam manejemen pendidikan selama ini sangat minim. Akuntabilitas sekolah terhadap masyarakat sangat lemah. Sehingga pengelolaan pendidikan terbiasa menerapkan pola inward looking dan upward looking. Kalangan di luar birokrat seakah-akan dipandang tidak bernilai. Yang menentukan nasib pendidikan adalah para birokrat dan atasannya, peran serta masyarakat dianggap tidak berguna.
Sudah saatnya, penyelenggara pendidikan kita dituntut untuk selalu mencari inovasi dan kreasi untuk meningkatkan kinerjanya sehingga dapat mewujudkan manusia terdidik (educated human beings) yang mempunyai life skills yang berkualitas tinggi demi meningkatkan daya saing output pendidikan nasional kita. Tidak ada tawaran ulang kecuali melalui perencanaan sumberdaya pendidikan yang terarah, terkelola dengan baik dan sistem evaluasi yang mempunyai nilai akuntabiltas tinggi yang mampu meingkatkan pendidikan berkualitas yang merata. Terlebih amanah UUD 1945 melalui UU Sisdiknas tahun 2003 tentang alokasi 20 % dari APBN dan APBD semakin menjadi kenyataan.

Mustatho'
Pemerhati Pendidikan, Pendidik di Pon-Pes Al-Musthafa, Prambontergayang, Soko, Tuban, 62372.
Alamat Penulis, Prambontergayang, RT. 02/11, Soko, Tuban 62372.
Hp 0815-78785376.
email. tatok.m@gmail.comblog.http//mustathok.blogspot.com

Comments

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN

SOAL UTS Ushul Fiqih