MEWISUDAPURNAKAN JIWA MANUSIA


Mustatho’

Prespektif ilmu apapun, juga agama manapun, manusia ditempatkan sebagai makhluk yang paling muliya dan utama. Hanya manusialah yang memiliki potensi kesempurnaan. Manusia sempurna menjadi perwujudan ilahi di dunia ini. Disaat kondisi kemasyarakatan begitu memprihatinkan seperti saat ini, manusia dihadapkan pada posisi tepat untuk menjadi diri mereka seutuhnya yang mampu secara konsekuesional menanggung peran sebagai perwakilan Allah di dunia ini (khalifatullah fi al-Ardl). Untuk itulah manusia perlu mengembangkan diri sejalan dengan peran yang embannya. Salah satu jalannya dapat diraih dengan mensucikan jiwa ketuhanan yang dimiliki manusia.

Untuk mengembangkan diri, terlebih dahulu harus dipahami siapa entitas manusia itu sebenarnya. Dalam prespektif ilmu tasawuf (sufitik), diri manusia memiliki tiga penopang utama, yakni al-Basyar, al-Nafs dan al-Ruh. Manusia sebagai al-Basyar adalah wujud manusia yang terdiri dari gumpalan daging dan susunan tulang-belulang. Sedangkan an- Nafs (soul) adalah daya kehidupan yang bersifat netral yang berada dalam diri manusia. Dengan sifat an-Nafs (sifat netral) ini maka manusia sangat mudah terpengaruh pada lingkungan dimana ia berada. Antara sifat al-Basyar dan an-Nafs saling meliputi, al-Basyar atau tubuh pasti membutuhkan hadirnya an-Nafs atau jiwa. an-Nafs memaknai kehadiran al-Basyar, sedangkan al Basyar mempengaruhi an-Nafs. Tanpa an-Nafs maka al-Basyar hanyalah gumpalan tanah kering. Dengan an-Nafs itulah al-Basyar bagaikan tanah kering yang mendapat siraman hujan, memiliki daya yang melahirkan benih-benih kehidupan. an-Nafs membangkitkan dorongan-dorongan naluriah sehingga al-Basyar menyadari betul keberadaannya sebagai bagian dari dunia materi yang membutuhkan materi lainnya guna memperkokoh keberadaannya. An-Nafs inilah kemudian yang diidentikkan dengan ego, jiwa dan keakuan.

Kedudukan an-Nafs dalam kehidupan manusia prespektif sufistik kadang diumpamakan sebagai anjing hitam yang meminta makan namun diusir untuk segera pergi. Dalam beberapa hikayat, an-Nafs juga diibaratkan sebagai tikus atau rubah yang keluar dari mulut manusia. Karena beberapa contoh ini, an-Nafs sering dianggap juga sebagai representasi dosa ataupun aksi-aksi manusia yang tidak disetujui oleh Yang Maha Kuasa. Dalam lingkungan kaum sufi, perjuangan untuk melawan an-Nafs merupakan perang suci yang wajib dilakukan, bahkan kata-kata yang sering digunakan untuk menunjukkan wujud an-Nafs adalah “musuh paling buruk yang berada di sampingmu”.

Menurut para Sufi perwujudan an-Nafs sangatlah nyata. Dalam beberapa hal mereka menyamakan an-Nafs sebagai wanita penggoda yang berusaha melakukan apapun untuk menggagalkan segala usaha yang telah dijalani, nafs ditunjukkan sebagai bentuk eksistensi yang sangat berpengaruh pada usaha untuk mencapai kesempurnaan, para sufi bahkan menggambarkan an-Nafs sebagai sosok Fir’aun yang harus dibasmi dan dilawan. Hal ini jelas membuktikan bahwa an-Nafs bagi kaum sufi harus ditaklukan atau dalam bahasa lain disucikan jika ingin mendapat hasil yang sesuai dengan tujuan.

Setelah an-Nafs terdapat konsep yang dinamakan sebagai ar-Ruh. Pengertian ar-Ruh adalah Tiupan Suci yang dihembuskan Allah kepada al-Basyar. Ar-Ruh tidak berada di dalam atau di luar tubuh al-Basyar, ia tidak terikat tetapi juga tidak bebas. Karena merupakan tiupan suci ilahi maka ar-Ruh secara alami selalu cenderung menarik kesadaran manusia untuk kembali kepada Allah.

Keberadaan tiga entitas berbeda dalam tubuh manusia ini menghadirkan satu pertarungan tersendiri antara al-Basyar, an-Nafs dan ar-Ruh. Gambaran manusia dapat ditarik dari masing-masing kecenderungan. Jika al-Basyar dan an-Nafs berdekatan dalam diri manusia, maka yang didapat adalah dorongan-dorongan perbuatan yang cenderung bersifat duniawi dan materialistik. Pula sebaliknya, ketika mampu mendekatkan al-Basyar lebih dekat dengan ar-Ruh, maka perbuatan yang muncul adalah dorongan untuk melepaskan pengaruh duniawi yang materialistik dan kembali kepada Allah swt. Dalam keadaan seperti ini maka penyucian jiwa (tazkiyatun nafsi) menjadi hal yang penting untuk dilakukan agar manusia tidak terjerumus pada penyakit jiwa yang sifatnya keduniaan dan membawanya untuk senantiasa setia dan tidak berpaling dari jalan yang telah ditetapkan.

Ditempuh dengan Penyucian Jiwa

Tazkiyatun Nafsi atau penyucian jiwa adalah suatu upaya pengkondisian jiwa agar merasa tenang, tentram dan senang berdekatan dengan Allah (ibadat), dengan penyucian jiwa dari semua kotoran danpenyakit hati atau penyakit jiwa. Tujuan ini merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang salik atau ahli tarekat, bahkan dalam tradisi tarekat, Tazkiyatun Nafsi dianggap sebagai tujuan pokok. Dengan bersihnya jiwa dari berbagai penyakit akan menjadikan seseorang secara otomatis dekat kepada Allah.

Dalam prakteknya ada beberapa cara yang dapat dilakukan manusia guna melakukan pembersihan Jiwa. Puasa merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memulai langkah menghancurkan nafs yang ada dalam diri manusia. Selain puasa, dizkr menjadi penekanan untuk dilakukan jika manusia ingin meleburkan diri dan melakukan tahapan-tahapan guna pembersihan hati dari segala-kotoran dan peyakit jiwa. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membersihkan jiwa manusia, diantaranya dzikr, adalah ritus yang titik utamanya untuk mengingat Allah. Bisa dilakukan secara jahri (terang-keras) ataupun sirri (perlahan-di dalam hati). Di dalam trekat, dzikr diyakini sebagai cara yang paling efektif dan efesien untuk membersihkan jiwa dari segala macam kotoran dan penyakit-penyakitnya. Kedua ataqah atau Fida' Akbar. Ataqah atau penebusan ini dilaksanakan dalam ragka membersihkan jiwa dari kotoran atau penyakit-penyakit jiwa. Bentuk dari cara ini adalah seprangkat amalan tertentu yang dilaksanakan dengan serius (mujahadah), seperti membaca surat al-ihlad sebanyak 100.000 atau membaca kalima tahlil dengan cabangnya sebanyak 70.000, dalam rangka penbusan nafsu amarah atau nafsu-nafsu lainnya.

Cara ketiga adalah dengan mengamalkan syariat, melaksanakan amala-amalan sunnah seperti istiqomah membaca al-Qur'an dengan merenungkan arti dan maknanya, melaksanakan shalat malam, berdzikir di malam hari, bannyak berpuasa sunnah dan bergaul dengan orang-orang shaleh. Keempat berperilaku Zuhud dan Wara'. Tujuan berpilaku zuhud adalah untuk menghindari ketergantungan hati pada harta, dan wara' adalah sikap hidup selektif. Orang yang berprilaku demikian tidak dapat berbuat sesuatu, kecuali benar-benar halal dan benar-benar dibutuhkan. Rakus terhadap harta akan mengotori jiwa demikian juga banyak berbuat yang tidak baik,memakan yang syubhat dan berkata sia-sia akan menperbanyak dosa dan menjauhkan diri dari Allah, karena melupakan Allah.

Menurut J. Spencer Trimingham dalam bukunya The Sufi Order in Islam mengatakan bahwa dzikr dilakukan untuk mendapatkan jiwa bersih hingga kemudian berhasil melangkah ke tahap selanjutnya yaitu tahap peleburan jiwa. Ini bisa terjadi jika manusia telah melakukan tujuh tahap penyucian jiwa yang harus dilakukan satu persatu. Setiap tahap mempunyai unsur sifat keduniawian yang harus dihindari.. Ketujuh tingkatan tersebut mempunyai ciri khas dan simbol termasuk warna atau cahaya yang merepresentasikan kesemuanya. Jika dapat melalui kesemua tahapan, maka tidak diragukan lagi manusia tersebut telah berhasil mencapai tujuan utama yaitu menjadi manusia sempurna.

Mustatho’

Mahasiswa Tasawuf, Pascasarjana ICAS-Paramadina Jakarta Branch of ICAS-London.

Aktif di The Indonesian Famous Institute dan Kelompok Studi Tlaga Hijau, Ciputat.

Alamat Penulis, gg. Tlaga Hijau, No 77 C, Kerta Mukti, Pisangan, Ciputat, 15419.

Hp. 0815 7878 5376

Comments

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN

SOAL UTS Ushul Fiqih