PEMUDA DAN PERALIHAN KEKUASAAN

Mustatho'

Pemilu 2009 didepan mata, hingar kepentingan politikpun terserak ke mana-mana. Apa yang tidak bisa dilakukan demi meraih obsesi tertinggi dalam politik ini? Semua sah dan ‘halal’ di lakukan. Sebagaimana kaedah fikih maalaa yatiim al-Wajib illa bihi fahuwa Waajib (apapun yang dapat menyempurnakan kewajiban maka ia-pun berarti wajib dilakukan). Konsepsi teologis inilah yang kemudian melatari paradigma mainstream politikus kita, calon pemimpin dan partai politik di Indonesia, bahwa mensejahterakan bangsa, mengentaskan kemiskinan, dan pada akhirnya membangun peradaban bangsa Indonesia adalah urusan kuasa dan kepemimpinan politik yang hanya bisa diwujudkan jika mereka menjadi RI 1 (presiden). Tak pelak, para tokoh mudapun bermunculan untuk merebutkannya.

Kemunculan kontestan-kontestan baru ini melahirkan perang strategi yang lebih bervarian. Namun di tengah kreatifitas strategi meraih simpati ini, yang perlu diprihatinkan pada akhirnya adalah, kompetensi yang cenderung tidak sehat dan sia-sia. Bisa dikatakan, kegetolan mempersepsi diri agar dikenal rakyat, menggiring mereka ‘dikenal’ dengan cara instant. Calon-calon pemimpin negeri ini jauh-jauh hari berani merogoh kocek yang tidak sedikit jumlahnya untuk sekedar ‘beriklan’ diri di mass media (cetak dan elektronik). Tidak dapat disalahkan memang, semua yang dilakukan oleh calon dan kontestan pemilu kita ini, -meskipun mungkin hanya tampak di media saja mereka berbaur, bersatu, bahkan rela blusukan ke sawah, pasar dan perkampungan kumuh. Tetapi inilah kenyataannya, mereka hanyalah anak zaman yang harus mematuhi sistem pemilu di negerinya, untuk mau membumi dan ‘membiasakan’ hal yang tidak biasa mereka lakukan.

Dalam etika politik, sah-sah saja seorang calon mengiklankan diri, bahkan sesering apapun dilakukan, karena memang tidak melanggar aturan pemilu –tentunya karena dilakukan pada masanya, namun yang menjadi persoalan adalah bagaimana negeri ini bisa mempunyai pemimpin unggul dan bijak, ketika sejak dinipun mereka dipaksa untuk memoles kepalsuan dimuka publik dan dengan iklan-iklan yang secara umum ‘menyesatkan’ mereka sendiri?. Pasalnya, bertimbangan biaya iklan dan tujuan mereka mendapat simpati adalah dua hal yang kontr-produktif. Rakyat tentu tahu, bagaimana seorang calon yang tulus akan memilih model pemberdayaan yang langsung menyentuh kehidupannya ketimbang hanya iklan yang dinikmati hasilnya oleh kalangan media belaka. Dalam masyarakat telah tertanam siapa sosok pemimpin yang diidamkan mereka mendatang. Popularitas hanya menempati sisi lips (luaran) dari kebutuhan masyarakat. Ironis memang, namun wajar dalam sistem demokrasi politik.

Kasus di atas, adalah kelemahan sistem pemilu yang kemudian hanya menempati deretan awal dari sekian banyak kelemahan pola regulasi kepemimpinan bangsa Indonesia. Kelemahan budaya politik yang lain adalah pada tujuan kontestasi pemilu itu sendiri. Fenomena multi partai (38 partai peserta pemilu) dapat diidentifikasi sebagai lemahnya penghayatan akan makna pemilu sebagai prosesi suksesi sebuah kepemimpinan. Adanya ‘kepemilikan’ partai, simpatisan loyalis dan kompetitor-kompetitor pemilu yang segmentatif seakan menambahkan citra redup kepartaian di Indonesia. Mereka mudah melupakan bahwa tujuan utama kontestasi pemilu perlima tahunan ini bukanlah persaingan antar partai ataupun figur yang diusung, tetapi lebih pada pemberian kesempatan kepada rakyat untuk memilih pemimpin yang diidamkan dan yang sesuai dengan harapan mereka. Kesadaran inilah yang tampak hilang atau bahkan tidak dimiliki oleh para elit partai politik dan calon pemimpin Indonesia sampai saat ini. Pada hal seandainya kesadaran ini ada, niscaya tidak mungkin ditemukan kecurangan, janji-janji politik yang tidak bisa ditepati dan bahkan bisa mengeliminasi kemungkinan kekacauan dalam pemilu. Karena landasan awal yang terbangun adalah menempatkan kepentingan rakyat di atas golongannya.

Bongkar-Pasang Isu

Banyak pengamat dan pemerhati politik menempatkan faktor kepemimpinan sebagai masalah esensial bangsa ini. Masalah kepemimpinan yang sedang hangat dibicarakan saat ini mulai mempertanyakan efektifitas kepemimpinan golongan tua di segala lini kehidupan masyarakat, kemudian membandingkan dengan kepemimpinan pada golongan muda yang pernah ada di Indonesia.

Para pengamat selalu merujukkan kepemimpinan saat ini dan membandingkannya dengan kepemimpinan pra dan awal kemerdekaan Indonesia yang dipegang oleh kalangan mudanya, dengan tokoh-tokohnya semisal Soekarno (36), Sultan Syahrir (36), Sultan Hamengkubowono IX (33), Amir Syarifudin (38), Adam Malik (28), dan Angkatan Perang Indonesia oleh AH Nasution (27), Djatikusuma (28) dan TB Simatupang (25). Mereka seakan lupa, bahwa setiap zaman mempunyai spirit berbeda dalam dataran visioningnya.

Isu di atas kemudian menyempitkan pemikiran bahwa generasi muda pastilah lebih berani membawa perubahan dan bervisi pada kemajuan dari pada generasi tua yang nyata-nyata telah gagal total menakhodai bangsa ini. Dari sini yang perlu diwaspadai adalah ketidakberimbangan isu. Ketidakberimbangan isu ini akan menempatkan dan menjebak pikiran rakyat pada pandangan sepihak dengan memutlakkan dan mengharuslah kepemimpinan indonesia ke depan adalah kepemimpinan pemuda dan hanya kepemimpinan pemudalah yang mampu mengisi serta membawa perbaikan bangsa. Penumpukan harapan yang berlebihan inilah yang bisa menjadi boomerang dan mencidrai pemuda ke depan, atau misalkan calon pemuda kalah maka konsekuensinya pastilah mahal.

Kelemahan kedua, ada pada alasan yang simplisit yakni sekedar kejenuhan pada generasi tua dan romantisisme masa lalu. Jelas alasan ini tidak relevan dan tidak bisa dibenarkan. Menyamakan generasi muda saat ini dengan generasi muda masa lalu adalah kesalahan logika perbandingan, yang berati memaksakan ketiadaan perbedaan waktu dan setting sosial yang jelas ada di antara keduanya.

Sedikitnya ada gap waktu dan setting sosial yang membedakannya. Setting sosial era kemerdekaan yang penuh gejolak dan kebutuhan independensi negara, melahirkan pemimpin bervisi kemerdekaan, seperti dalam diri Soekarno, Hatta dan Sjahrir. Maka tentunya saat ini, kepemimpinan pemuda yang dibutuhan bangsa ini –kalau memang harus pemuda, melampaui minimal tiga contoh pemimpin kemerdekaannya. Sebagaimana diucapkan oleh Soekarno sendiri (Di Bawah Bendera Revolusi 1964) “mempertahankan kemerdekaan akan lebih sulit dari pada meraihnya”. Tugas pemuda saat ini adalah meneruskan cita-cita kemerdekaan, yakni membangun Indonesia mandiri, maju dan berperadaban.

Pertanyaannya kemudian bukan sekedar sudahkah kaum muda Indonesia siap menyongsong regenerasi tahun 2009 ini? Atau pun pantaskah pemuda menjadi pemimpin bangsa ini? Pertanyaan yang esensial melampaui semua kepentingan itu. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang melebihi para pemimpin pendahulunya, yang mampu meneruskan cita-cita yang telah mereka rintis, memajukan Indonesia dan bermartabat di mata dunia. Entah itu ditemukan dari pemuda ataupun generasi tua.

Melebihi Kepentingan Politik

Dalam sistem demokrasi kehidupan berbangsa dan bernegara, kepentingan politik tidak bisa dilepaskan sebagai unsur pembangun bangsa. Maka sangat wajar jika partai politik menjadi wadah aktualisasi dan sarana untuk ikut berperan dalam pembangunan. Keikutsertaan dalam Pemilu adalah usaha untuk mewujudkan cita-cita ini. Pemilu di sini –dengan seperangkat sistemnya, merupakan salah satu bentuk empowerment yang lahir dari rahim bangsa ini, guna memilih generasi penerus yang bakal menjadi pemegang tampuk bangsa Indonesia ke depan. Sukses ataupun tidaknya pemilu, bersih ataupun curangnya pemilu, serta kesiapan menerima apapun hasil darinya adalah wujud kedewasaan yang mesti ada. Pertanyaannya adalah sudahkah kita cukup dewasa dalam menjalankan modal politik kita?.

Tujuan pemilu yang sebenarnya –melebihi kepentingan politik kelompok manapun, adalah menata kembali sistem pemerintahan yang ada, dengan salah satu bentuk agendanya berupa pemilihan kepemimpinan. Secara teoritis terdapat dua model pergantian kepemimpinan, yakni pertama regulasi kepemimpinan, yang sering dikenal dengan istilah regenerasi kepemimpinan, dan kedua transformasi organisasional. Oleh Budiono Kusumohamidjojo (Prisma, 1986) dua sistem ini –baik regenerasi kepemimpinan maupun trasformasi organisasional, dikatakan sama-sama mengandaikan adanya perubahan. Namun antara keduanya jelas berimplikasi berbeda. Regenerasi kepemimpinan lebih bersifat figuratif dan cenderung pada pola kesinambungan kepemimpinan, sementara trasformasi organisasional mengimplikasikan perubahan politik yang sistemik, dan tidak sekedar pergantian orang (pemimpin) belaka. Trasformasi organisasional mengacu pada perubahan pada setiap level sistem dan kepemimpinan. Trasformasi organisasional ini mendekati makna revolusi, namun dalam level yang lebih rendah. Dalam dua makna perubahan inilah arah dan tujuan pemilu sebenarnya ada. Masyarakat secara keseluruhan, tentunya bisa menilai dan memilih, sampai pada level manakah kebutuhan perubahan bangsa ini.

Baik perubahan ataupun kesinambungan kepemimpinan adalah konsekuensi logis dari sistem pemilu, dimana rakyat dihadapkan pada pilihannya yang jelas berlawanan; perubahan berarti pengharusan pergantian kepemimpinan, sementara kesinambungan berarti mempertahankan status quo.

Mustatho’, Pemerhati sosial politik, Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IAIN Sunan Ampel Surabaya. Saat ini Dosen STAI BINA MADANI Tangerang.

Alamat Jl. Legoso Raya, RT. 03/07 No 28, Pisangan, Ciputat, 15419.

Hp. 0815 7878 5376

Blog. http//.mustathok.blogspot.com

Email. tatok.m@gmail.com

Comments

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN

SOAL UTS Ushul Fiqih