RESENSI


BERJUANG DEMI NEGARA PALESTINA

Judul Buku : Jalan-Jalan di Palestina - Catatan atas Negeri yang Menghilang
Penulis : Raja Shehadeh
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Tebal : 237 halaman
Cetakan : Pertama, 2008

Wajah buram Palestina akhir-akhir ini semakin nyata menyeruap ke dalam benak kita. Di tengah agresi Israel yang tak kunjung berakhir. Seribu kepedihan belumlah setimpal dengan harga kepedihan warga Palestina. “Palestina yang malang, Palestina yang tercabik, Palestina yang porak-poranda”, ataupun sejuta untaian sajak, syair, puisi dan cercaan terhadap Israel, tidaklah cukup untuk menggambarakan kepedihan negeri para Nabi ini. Menjadi pertanyaan kemudian adalah apa yang sebenarnya dicari oleh para aggressor Zionis di tanah yang juga merupakan tanah suci mereka sendiri?.

Dalam sejarah agama-agama dunia, diakui bahwa di Negeri Palestina bernaung tiga situs agama besar dunia. Betlehem, diyakini umat Kristen sebagai tempat kelahiran Al Masih sang juru selamat. Juga terdapat Tembok Ratapan yang menjadi ibadah kaum Yahudi. Serta ada Masjidil Aqsa, tempat Nabi Muhammad melakukan Isra-Mikraj.

Dengan melihat Palestina kini yang hampir-hampir habis dicaplok oleh Israel, ke depan bisa diprediksikan, bahwa umat manusia bisa menyaksikan kenyataan bahwa Peta dunia segera berubah. Pembangunan pemukiman Israel dipaksakan di tengah-tengah teritori warga Paletina. Menjadi kenyataan yang pahit yang harus ditelan dalam-dalam oleh warga Palestina. Perumahan orang Palestina pun kian terlihat seperti ghetto—tempat penampungan zaman Nazi Hitler untuk kamp konsentrasi Yahudi. Dunia Palestina kian mengerut, sebaliknya dunia Israel mengembang, semakin banyak pemukiman dibangun, tebing-tebing dan wadi-wadi pun dihancurkan untuk memperjelas peta Negara Baru, Negara Israel.

Rangkaian kenyataan yang sungguh merupakan kepedihan yang mendalam bagi bangsa Palestina ini sebenarnya tidak terlepas dari permainan dari negara-negera Barat dan Amerika, yang seakan sengaja membiarkan Palestina terhapus dari peta dunia. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari sekian banyak perjanjian perdamaian antara Palestina dan Israel yang diprakarsai dunia Barat dan Amerika, namun selalu gagal dan dilanggar sendiri oleh Israel, tanpa ada sanksi yang tegas terhadapnya. Kemana Otoritas PBB?. Kemana Hukum internasional?
Narasi pilu tentang Israel inilah yang dituturkan oleh Raja Shehadeh, dalam bukunya yang berjudul Jalan-Jalan di Palestina - Catatan atas Negeri yang Menghilang ini. Buku ini hadir sebagai kisah nyata (true story) berdasar perjalanan hidup sang penulis selama 26 tahun. Shehadeh yang menjalani hidup sebagai saksi berbagai perubahan signifikan di Bumi Palestina, mulai dari perbukitan hijau yang hilang berganti dengan kota-kota baru produk Israel yang ia saksikan hari ini.
Buku yang memenangkan penghargaan Orwell Prize 2008, sebuah penghargaan untuk karya jurnalisme politik ini, dibagi kedalam enam bab, dan ditulis bertutur runtut sebagai sebuah persaksian sejarah. Catatan perjalanannya dimulai pada 1978 dan berakhir tahun 2006. Ditulis bertutur dengan konteks waktu dan berlatar sekitar perbukitan Ramallah, Jerusalem, dan Laut Mati.
Kumpulan enam kisah nyata ini dimulai dari lanskap antara Ramallah dan Harrasha, tempat Shehadeh lahir dan besar bersama keluarganya. Shehadeh memulai dari kisah masa kecil ketika dia pertama kali menatap langit dari tanah Palestina, menyaksikan bukit-bukit hijau yang masih belum parah dihancurkan oleh Israel. Sampai dengan kesaksiannya terhadap pembangunan permukiman Israel dengan berton-ton beton yang membelah-belah perbukitan dan menelan berhektar-hektar tanah yang asri itu.
Buku ini kemudian sekaligus menjadi alat perjuangan bagi sang penulis di sisa masa tuanya bersama rakyat Palestina untuk mempertahankan tanahnya. “Selama tiga decade, lebih dari setengah juta orang Yahudi ditempatkan di area seluas 5.900 km2. Tak sulit lagi untuk melihat kerusakan yang telah disebabkan oleh pembangunan infrastruktur yang diperlukan untuk menyokong kehidupan populasi yang begitu besar, berton-ton beton dituang untuk membangun kota-kota di bukit-bukit. Aku menyaksikan transformasi menyeluruh ini dari tempat di mana aku tumbuh besar. Wadi-wadi yang elok, mata-mata air, tebing-tebing dan reruntuhan kuno dihancurkan oleh mereka yang katanya jauh lebih mencintai negeri ini. Dengan menuliskan bagaimana rupa dan rasa negeri ini, aku harap bisa melestarikan, setidaknya dalam kata-kata, apa yang telah hilang selamanya,” ungkap Shehadeh (hlm. 13).
Raja Shehadeh, sang Penulis adalah seorang pengacara Palestina yang tinggal di Ramallah, sekaligus pendiri Al Haq (organisasi pelopor hak asasi manusia non-partisan), yang juga merupakan relasi Komisi Ahli Hukum Internasional.
Tak hanya menulis, Raja Shehadeh bahkan bertekad melawan pencaplokan Palestina lewat jalur hukum internasional. Dalam keadaan yang sulit dan serba terjepit, ia bertahan ketimbang pergi dari kotanya Ramallah. Shehadeh dalam bukunya ini juga mengungkapkan satu dokumen dari Masyarakat Eksplorasi Israel (The Israel Exploration Society) yang menginstruksikan para penelitinya untuk menyediakan dokumentasi konkret tentang kontinuitas benang historis yang tak terputus dari zaman Joshua bin Nun sampai hari-hari penaklukan Negev dalam generasi kita. “Demi mencapai ini generasi-generasi dari berabad-abad penghuni negeri Palestina ini harus dihapus dan disangkal. ‘’Dalam proses sejarah—sejarahku dan sejarah orang-orangku—dibengkokkan dan dipelintir,” (hlm 29).
Kesaksian Shehadeh dalam buku ini pun meraih pujian dari Koran The New York Times sebagai tulisan yang jujur dan penuh keterbukaan emosional. “hanya sedikit orang Palestina yang mau terbuka dengan kejujuran seperti yang dimiliki Raja Shehadeh”.

Comments

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN

SOAL UTS Ushul Fiqih