ORIENTALISME DAN SEJARAH ISLAM


PENULISAN SEJARAH DALAM ISLAM
(Antara Sinisme terhadap Orientalis dan Objektifitas yang Ada)*
Mustatho’, M.Pd.I

Abstract

As sources of Islamic history, al-Qur’an and Hadits are the most important one. As well as in Muslim word, the discourse of Islam in the West gets a great appreciation. Islamic issues are always on the top rank which are appreciated. Many West scholars studied and analyzed them. Recently, West scholars who concern on Islamic studies commonly use term Orientals to make distinction between Islamic (east ) discourse and West.
Edward Said, one of man knows much about Orientals attached Orientals that with in Orientals there are many tendentious surround it. As a critical study, the tendentious is not should be used. Muslim scholars must select how the product of Orientals is. They also have to treat the works of Orientals accurately and objectively. This writing is going to discuss how Orientals lays al-Qur’an and Hadits as sources of history in Islam.

* Diterbitkan di At-Tahrir, Jurnal Pemikiran Islam, STAIN Ponorogo, Vol. 8 No. 2, Juli 2008, hal. 235-244.

DISKURSUS ORIENTAISME

Sejak Edward Said melakukan serangan terhadap orientalisme, studi kritis mengenai pembentukan sejarah Islam seakan menjadi anathema (kurang disukai). Sarjana muslim yang hendak melakukan studi kritis terhadap al-Qur’an dan hadits serta sejarah Islam menjadi ragu dan takut dipersamakan dengan para orientalis yang memang mempunyai ‘citra buruk’ di dunia Islam. Banyak dari sarjana muslim Indonesia yang mengambil program Islamic studies di Perguruan Tinggi Barat kemudian tidak terlepas dari stigmatisasi ini, bahwa mereka setelah kembali ke Tanah Air dicurigai sebagai agen Barat dan telah terkontaminasi oleh pemikiran para orientalis.

Stigmatisasi ini kemudian menjadi beban psikologis sarjana lulusan Perguruan Tinggi di Barat dalam kajian keislamannya. Dengan beban psikologis ini, kajian keislaman terhadap sumber-sumber utama dalam sejarah Islam tidak bisa lagi dilakukan secara kritis dan bebas. Para sarjana muslim yang melakukan kritik terhdap tradisi Islam klasik merasa perlu berhati-hati dan melakukan disclaimer bahwa mereka bukanlah orientalis, dan apa yang mereka lakukan sesungguhnya demi kebaikan dan kemajuan peradaban Islam itu sendiri, dan bukan membela kepentingan Barat, terlebih orientalis.

Dalam khazanah keilmuan, kajian terhadap orientalisme dapat dipetakan ke dalam beberapa perspektif dan beberapa factor yang melatarbelakanginya, di antaranya adalah:

Pertama, orientalisme memiliki kajian organis dengan penjajahan Barat di dunia Timur. Khususnya oleh Inggris dan Perancis sejak akhir abad XVIII hingga Perang Dunia II. Pasca Perang Dunia II di bawah kendali Amerika Serikat, orientalisme mengambil bentuk neo-liberalisme, yang mewabah sampai saat ini. Dalam konteks penjajahan yang sesungguhnya, hampir dapat dipastikan bahwa setiap Negara imperialis memiliki kelompok yang disebut sebagai think thank groups, yang fungsinya mengkaji baik struktur nalar maupun struktur soisologis Negara jajahannnya guna menguasainya secara penuh. Penjajahan Belanda di Indonesia misalnya, memiliki sosok Snouck Hurgronje dengan fungsi ini.

Kedua, orientalisme memiliki ikatan teologis dengan Barat, yang berbentuk kepentingan misionarisme keagamaan (Kristen). Kajian orientalis diperlukan untuk analisis cultural terhadap struktur nalar keislaman masyarakat timur, guna disusupi paham dan ajaran Kristen setelah diketahui sisi lemah dari ajaran Islam dan budaya ketimuran. Motif kedua ini menjadi jawaban atas marak dan berkembangnya agama Kristen di pelosok bumi pedalaman Indonesia bersamaan dengan datangnya penjajahan Portugis dan Belanda.

Ketiga, orientalisme digunakan untuk kepentingan taktis politik Barat atas dunia Timur-Islam. Hal ini dapat diperjelas dengan banyak munculnya proyek-proyek tendensius ala Barat atas dunia Timur dan Pemberian dana penelitian dari Pemerintahan Barat untuk mengkaji dunia Timur. Dalam konteks ini, H.A. Gibb menjadi contoh, bagaimana usaha Barat mengkaji kebijakan Timur melalui beberapa penelitian dan kajian keTimurannya. H.A. Gibb menjadi penasihat Inggris dan Amerika dalam menentukan kebijakan politik yang menyokong Israel dan menentang bangsa Arab.

Keempat, orientalisme yang sungguh-sungguh mencari informasi dan research ilmiah secara netral terhadap Islam. Research Ilmiah dan sikap netral dari kelompok keempat ini kemudian banyak membantu dan mempunyai kontribusi positif dalam dunia Islam guna memahami dan menggali simpanan tradisi (khazanah) keislaman. Sebut saja beberapa tokoh seperti John L. Esposito, Karen Amstrong, Marshal G. Hodgson, dan beberapa di antara mereka bahkan ada yang menjadi seorang Muslim.

OBJEKTIFITAS PENULISAN SEJARAH DALAM ORIENTALISME

Latar belakang yang melahirkan orientalisme dalam berbagai seginya ini tidak semestinya menyebabkan apatisme di dunia Islam. Sikap kritis terhadap orientalis dan orientalisme memang harus tetap dimiliki oleh sarjana muslim dalam rangka menjaga track objektifitas keilmuan tetap terpenuhi. Berhenti pada pembahasan orientalisme seperti apa yang dilakukan Edward Said bukanlah pekerjaan yang produktif dan semakin menjauhkan kita bagi agenda pembaruan dan pencerahan Islam.

Dengan melihat standar metodologi dan standart akademik yang ketat, yang dimiliki para ahli Islam dari Barat, banyak studi Orientalisme yang bisa memberi manfaat dan diambil oleh dunia Islam, utamanya mengenai studi mereka tentang al-Qur’an, Hadits dan sejarah keNabian, yang merupakan bekal para sarjana muslim untuk mengungkapkan khazanah Islam yang masih terpendam. Studi mereka tentang sejarah al-Qur’an misalnya, sangat padat dengan rujukan-rujukan dari sejarah Islam klasik. Penguasaan mereka terhadap bahasa Arab dan peradaban Mediterania membantu kita dalam mengeksplorasi hal-hal yang selama ini tercecer dalam tumpukan kitab-kitab klasik kita.

Objektifitasa kajian orientalisme terhadap Islam dapat dilihat setidaknya dari sebagian besar sumber-sumber kitab klasik yang dijadikan rujukan para orientalis itu sendiri, sebut saja Arthur Jeffrey, Theodor Noldeke, dan Jhon Wanslbrough dalam studi mereka tentang sejarah al-Qur’an. Sejauh menyangkut data, hampir tidak ada satupun kekeliuran yang mereka buat. Semuanya dapat dinilai akurat dan mengagumkan. Dengan data temuan orientalis ini kita dapat melihat secara lebih komprehensif lagi sejarah pembentukan al-Qur’an pada asalnya.

Verifikasi objektifitas studi yang dilakukan kaum orientalis terhadap al-Qur’an, Hadits dan sejarah keNabian ini dapat kita bandingkan dengan studi yang dihasilkan oleh ulama’ klasik kita, betapa banyak data dalam sejarah al-Qur’an yang disembunyikan oleh ulama’ klasik kita?. Atau mungkin mereka menutup diri akan wacana yang begitu kompleks, yang ada dalam literarur al-Qur’an, hadits maupun sejarah kenabian?. Padahal, pandangan-pandangan yang kerap dituduhkan sebagai “ciptaan orientalis” ini sesungguhnya adalah fakta sejarah yang sekaligus juga terekam dalam kitab-kitab muktabarah. Dalam al-fihris karya Ibn Nadhim misalnya, disebutkan bahwa, surat al-Fatihah bukan bagian dari al-Qur’an; dalam al-Itqan karya Jalal al-Din as-Suyuthi disebutkan bahwa surat al-Ahzhab semula berjumlah 200 ayat, tapi kemudian dipotong hingga hanya 73 ayat; dalam al-Burhan fi ulum al-Qur’an karya imam Zarkasyi disebutkan bahwa ada 2 surat yang tidak dimasukkan dalam mushab Utsmani, yakni surat “al-Khul” dan al-Hafd. Di mana keterangan ini tidak kita temukan pada karya ulama’ klasik kita, namun justru kita temukan dari karya-karya orientalis yang kita ‘musuhi’.

Data-data yang terekam dari kitab-kitab mu’tabarah ini diungkapkan dan didiskusikan secara objektif oleh para oreientalis. Kita bisa cek dan membuktikannya dengan merujuk kitab-kitab yang telah disebutkan di atas. Apalagi akses atas kitab-kitab klasik itu kini semakin mudah karena sebagian besar sudah mendapat tahqiq dan diterbitkan lagi. Sudah saatnyalah kita mau membuka diri (open mind) dan berusaha membaca ulang karya-karya orientalis secara objektif. Karya-karya ini setidaknya akan menuntun kita untuk mengetahui sejarah al-Qur’an secara lebih komprehensif lagi.

Secara objektif dapat dikatakan, kajian para orientalis banyak membuka dimensi baru dan tidak terpikirkan dari sejarah al-Qur’an yang selama ini kita ketahui. Pada gilirannnya, kerja keras dan temuan-temuan mereka dapat digunakan untuk menjelaskan apa yang selama ini menjadi concern ulama’ dan intelektual muslim kita. Bagaimanapun, metodologi kritik teks (hermenutika), khususnya teks-teks suci yang dimiliki orientalis adalah disiplin baru yang tidak memiliki presedent dalam sejarah intelektualisme umat manusia kecuali untuk kepentingan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jangan sampai sejarah al-Qur’an, Hadits dan sejarah kenabian dianggap korpus tertutup yang sudah selesai dan tidak boleh diganggu gugat, seperti yang pernah terjadi di masa silam kita.

PENUTUP

Dari kajian orientalisme tentang sejarah pembentukan al-Qur’an, kita mengetahui bahwa kitab suci ini berkembang secara dinamis dan berinteraksi dengan kehidupan umat manusia yang kadang sangat bersifat lokal-temporal. Sebagai seorang muslim, harus kita sadari bahwa fenomena local-temporal yang dijumpai dalam ayat-ayat al-Qur’an ini sebenarnya telah menjadi khazanah keilmuan kita sejak lama dan menjadi kajian biasa bagi para ulama’ dan ilmuan muslim. Dapat kita ketahui dalam ulum al-Qur’an dan juga ushul al-Fqh misalnya, ulama’ fiqh kita misalnya menciptakan kaidah-kaidah yang tujuannya menuniversilkan pesan-pesan al-Qur’an, seperti kaidah “al-‘Ibrah bi umum al-Lafdzi la bi khusu as-sabab” (mendahalukan kata-kata yang umum di atas sebab-sebab yang khsusus).

Membangun khazanah keilmuan sama dengan membangun sikap ilmiah agar tetap terjaga. Dengan kata lain, membangun peradaban dan kemajuan Islam berarti kemauan membuka diri dan pikiran terhadap apapun yang bisa menghantarkan pada tujuan yang kita inginkan dan menghindari sikap-sikap yang menghalanginya. Begitu juga dengan sikap terhadap kajian ilmiah, yang hendaknya dihindari jauh-jauh adalah sikap klaim dan judgement. Karena keduanya menghadirkan penilaian yang timpang terhadap segala sesuatu. Klaim akan menghadirkan sikap tertutup yang jauh dari sifat spotif dan reatifis ilmu pengetahuan. Dalam kalim yang ada adalah ketidakmauan terhadap kemungkinan kebenaran dating dari luar; kebenaran sifatnya tunggal dan hanya berada dalam kelompoknya. Begitu juga judgment akan menghilangkan sifat objektif kita. Bedanya, klaim bersifat pembenaran ke dalam, sementera judgment penyalahan yang bersifat ke luar.

Dalam kasus orientalisme, tidak sepatutnya masayarakat muslim mengambil antipati atapun salah pikir dengan melakukan generalisasi. Mengeralisasikan satu orientalis dengan orientalis lain akan mengkaburkan penialaian objektif ilmiah kita. Penulis teringat adagium “tidak semua yang keluar dari dubur ayam berupa kotoran, telurpun keluar dari jalur yang sama”. Begitulah seharusnya sikap kita terhadap orientalis dan produk karya dan pemikiran mereka.

Jika kita mampu menyibak kelemahan-kelemahan orientalis terhadap Islam, itu tidak berarti kita menafikkan kontribusi mereka dalam pengembangan kajian keislaman. Betapapun juga, dalam segi-segi tertentu, mareka telah membantu pemahaman kita terhadap fenomena, ekspresi dan penerjemahan Islam. Terlepas dari kelemahan-kelemahan kajian mereka, cukup banyak pula hal yang bisa dipelajari dari para orientalis. Ini tentu saja dengan tetap mempertahankan sikap kritis dan objektif. Oleh karena itu, kita harus tetap objektif dalam mengakui bahwa orientalisme memiliki sumbangan yang tidak sedikit terhadap kejian-kajian ketimuran, khususnya Islam.

Setidaknya terdapat dua alasan utama mengapa sarjana muslim perlu membaca tulisan kaum orientalis. Pertama, buku pegangan diberbagai bidang ilmu, seperti ekonomi, sosiologi, psikilogi, teknik, kedokteran, dan lain-lain, sekarang banyak yang berasal dari dunia barat. Kalau ilmu agama Islam tidak mau ketinggalan dari ilmu-ilmu itu, maka ia wajib mencari hubungan atau berdialog dengan ilmu agama di kalangan cendikiawan dan sarjana Barat, khususnya hubungan dengan hasil-hasil yang telah mereka capai dalam bidang ilmu agama Islam. Kedua, dalam mengumpulkan bahan, menyimpan dan menerbitkan naskah-naskah lama, orientalisme mempunyai suatu tradisi yang kaya dan lama. Sering kali sumber-sumber khazanah Islam bisa digali dengan mudah di perpustakaan dan koleksi naskah di Barat dari pada di mesjid kuno di dunia islam.

Jika dunia Islam menutup diri dari perkembangan studi atas subjek yang sama di dunia Barat, pada dasarnya berarti menutup diri dari kemungkinan perkembangan yang baru. Dalam tradisi keilmuan, mengadakan penelitian mengenai suatu persoalan, langkah pertama yang harus dilakukan mulakukan peninjauan atas hasil penelitian orang lain yang sudah membahas persoalan itu sebelumnya. Menutupi hasil penelitian orang Barat dari pembahasan ini tentu akan banyak merugikan penelitian para sarjana muslim kita sendiri.

Di samping itu, cara terbaik dalam menghadapi karya-karya orientalis ialah dengan meniru kesungguhan mereka dalam melahirkan karya-karya kreatif, tetapi juga harus mengembangkan sikap ekstra kritis terhadap tafsiran mereka menganai doktrin Islam. Sikap yang hanya mencurigai adalah bentuk lain dari ketidakberdayaan intelektual. Demikian, salam.

Comments

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN

SOAL UTS Ushul Fiqih