MARI MENULIS


MEREKA PARA PENULIS
(Well come note Komunitas penulis MataPena Cendekia)

Mustatho*

“Sejarah sastra hanya akan mengutip atau mencatat mereka
yang menghasilkan karya yang bisa dianggap karya sastra”.

(Asrul Sani, Pujangga angkatan 45)

Salam Mata!

Kawan Pena, tulisan ini hadir diawali dengan mensitir pidato Asrul Sani yang disampaikannya dalam “Pidato Kebudayaan” di TIM September 1990. Pidato tersebut menjadi hook bagi kita semua –utamanya penulis sendiri, bahwa sering kali diri kita bersikap ironis; di satu sisi kita mendamba dikenang orang, tapi di sisi lain kita malu bahkan tidak mau memulai berbuat sesuatu kearahnya. Kita mengagumi dan berhasrat menjadi seperti Habiburrahman el-Sherazy, Andre Hirata, dan bahkan Ayu Utami atau Chairil Anwar, namun kita lupa dengan ‘sakit’nya mereka sebelumnya. Kita menyukai hasil namun membenci prosesnya.

Kawan Cendekia, Di Penjara –sebuah ruangan yang sungguh ia benci, atau setidaknya tempat itu pasti tidak ia sukai, Mochtar Lubis menelorkan karya Catatan Subversif (1981). Begitu juga dengan Pramoedya Ananta Toer banyak melahirkan karya di tempat pembuangannya, Pulau Buru. Sebut saja Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985). Meski keduanya berideologi sastra yang berseberangan, Mochtar Lubis (manikebu) dan Pram (Lekra), namun yang kita banggakan di sini adalah etos yang nyata sama yang dimiliki keduanya. Mereka adalah pejuang kesusastraan, atau lebih klimaksnya bisa disebut mereka adalah corong bagi ketidakadilan. Mereka mengungkapkan perasaan, kekawatiran atau apapun yang mereka lihat, dengar, pikir dan rasa ke dalam karya sastra, yang dengannya saat ini kita bisa menjadi saksi sejarah dari bangsa kita.

Atau mungkin kawan-kawan masih ragu untuk mulai menulis?. Nawal el-Saadawi pada 6 September 1981 dijebloskan ke dalam penjara Barrages di Mesir. Namun demikian, ia tetap menulis meski dengan kertas toilet dan pensil alisnya. Lahirlah buku yang bisa kita baca sekarang dan diterjemah dengan judul Memoar dari Penjara Perempuan.

Kawan jejaring MataPena Cendekia, kelebihan lain apabila kita mau berkarya atau minimal meluangkan waktu untuk menulis apapun itu, adalah daya tahan dan daya cakup tulisan kita. Lebih-lebih apabila kita mau serius menulis di media atau buku misalnya, sekaligus bisa berfungsi sebagai media dakwah bagi apapun yang kita pikir dan perjuangkan. Essai, opini atau buku mempunyai kemampuan edar dengan jangka waktu dan segmen yang lebih luas. Coba bandingkan dengan omongan yang sekaligus hilang seketika obrolan berakhir. Tak pelak, kenyataan inilah yang kita temui, kita yang hidup pada era IT (abad 21) saat ini, masih saja menemukan kliping tulisan awal kemerdekaan Negara ini (‘45) misalnya, juga kita bisa menjumpai banyak buku-buku yang telah berusia puluhan dan bahkan ratusan tahun.

Selebihnya, yang patut kita pikirkan, apabila kita masih sangsi untuk menjadi penulis, minimal sejarah hidup kita sendiri, adalah the end of history/lost generation (hilangnya sebuah generasi) akan segera menjadi kenyataan. Zaman anak-anak kita adalah keberlanjutan dari zaman kita saat ini. IT yang saat ini kita nikmati, tentunya akan semakin mempola pada kehidupan anak kita. Hidup mereka akan semakin ‘termesinisasi’ seiring perkembangan IT. So, tidak ada jaminan anak kita akan mengenal kita nantinya, tanpa ada usaha untuk membentenginya dengan menyusun sejarah kemanusiaan sejak kini. Ya hanya dengan karya kawan-kawan sekalian generasi mendatang akan mengenal generasi moyang mereka. Selamat Berjuang!!!!

Mustatho* Koordinator MataPena Cendekia
Sekolah Tinggi Agama Islam Sengata (STAIS) Kutai Timur
* Pidato disampaikan Pada Pertemuan pertama, Jum’at (17/07) , 15.30 WITA
Komunitas Penulis MataPena Cendekia di Gelanggang Akademik STAIS.

Comments

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN

SOAL UTS Ushul Fiqih