JURNALISME MAHASISWA




PERAN PERS MAHASISWA, TANTANGAN DAN MASA DEPANNYA
(Dari Rendahnya Mutu Berita Hingga Pressure Media Nasional)
Mustatho’*


Wacana Pengantar

Salah satu fungsi dari Perguruan Tinggi adalah fungsi pendidikan. Pendidikan dengan makna proses pewarisan ilmu pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang berorientasi pada tuntutan zaman dan kebutuhan masyarakat. Perguruan Tinggi yang baik semestinya mampu menjamin terpenuhinya semua kebutuhan stake holder dan semua pihak yang terkait dengannya, termasuk di dalamnya mahasiswa dan masyarakat.

Mahasiswa mempunyai kebutuhan yang mendasar pada aktualisasi diri, sosialisai dan pengembangan intelektualitas. Kebutuhan ini hanya mampu terpenuhi apabila keberadaan Perguruan Tinggi mampu menjamin terselenggaranya kultur akademik yang kondusif bagi pengembangan potensi mereka. Kebebasan mimbar (academic freedom culture) menjadi hal yang mutlak ada dalam penyelenggaraan pendidikan di sebuah institusi Perguruan Tinggi.

Pengembangan kultur kebebasan mimbar di Perguruan Tinggi bertujuan untuk meningkatkan kepekaan mahasiswa, sekaligus untuk membentuk insan akademik yang intelektual dan bertanggung jawab. Mampu bertindak secara ilmiah dengan kualitas keilmuannya dan bertanggung jawab mengabdi (sensitif/ involve) terhadap masyarakat (lingkungannya).

Secara operasional, Kultur kebebasan mimbar ini hanya bisa terwujud dengan dua anasir utamanya, yakni kebebasan belajar (freedom to learn) dan kebebasan berkomunikasi (freedom to communication).

Pertama Freedom to Learn mempunyai makna luas dan tidak hanya terbatas pada dinding-dinding kampus, akan tetapi juga kebebasan untuk mempelajari persoalan-persoalan yang ada di luar dinding-dinding kampus (masalah riil dalam masyarakat). Dan kebebasan untuk mempelajari masalah riil dalam masyarakat ini adalah fokus yang terlebih penting dalam mencetak mahasiswa yang betul-betul berurusan dengan masyarakatnya.

Adanya kebebasan belajar yang berimplikasi sosial (masyarakat), dilihat dari pengembangan intelektualitas sangatlah menguntungkan. Pengalaman pendidikan yang didapat dari dan bersentuhan langsung dengan masyarakat dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah pendidikan berbasis kontekstual yang terkait langsung dengan pemecahan persoalan yang ditemuai mahasiswa (learning based problem solving). Belajar berbasis pemecahan masalah adalah proses membangun atas pemahaman terhadap berbagai fenomena pengalaman hidup, problema kehidupan, dan kondisi lingkungan sekitar peserta didik (Toffler, 1974:169)

Kedua Freedom to Communication, kebebasan berkomunikasi yang baik melatih dan menjamin peluang mahasiswa untuk berpendapat, bertanya, dan hak untuk melontarkan gagasan ilmiah secara obyektif, serta kebebasan untuk penyebaran ilmu pengetahuan dan publikasi hasil-hasil penelitian kepada seluruh komponen Perguruan Tinggi dan terhadap lingkungan masyarakatnya.

Salah satu wujud dari kebebasan berkomunikasi ini adalah tersedianya lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang menjadi wadah mahasiswa dalam menyuarakan dan mengkomunikasikan semua kegelisahan yang ada dalam dunia pendidikan serta lingkungan masyarakat.

Peran Pers Mahasiswa

Pers Mahasiswa merupakan bagian kecil dari sebuah arus besar dunia pers nasional, bahkan pers dunia. Pers mahasiswa selalu berada pada pojok ruang sempit yang dinamakan kampus. Namun keberadaan pers yang memiliki segmen tersendiri ini memiliki peluang pengembangan dan militansi lebih di banding pers umum yang mengambil segmen plural. PERS mahasiswa disebut juga sebagai pers pergerakan (pers alternative), yang memposisikan diri menjadi alternatif dari pers umum. Namun Pers mahasiswa adakalanya juga bermakna monoton sebagai pers akademis, yang hanya concern dalam hal-hal keilmuan.

Pada prinsipnya, pers mahasiswa harus tetap mempertahankan kehadirannya sebagai bagian dari alternatif bacaan mahasiswa dengan coraknya yang khas. Dengan mengambil segmentasi mahasiswa, sesungguhnya pers mahasiswa sudah dapat menemukan sebuah pasar yang khas dan tidak dimiliki pers secara umum. Tingkat pendidikan yang tinggi bagi segmen pers mahasiswa dalah nilai plus yang harus dibaca sebagai modal awal untuk menentukan visi media tersebut.

Karenanya, pers mahasiswa tidak boleh kehilangan nilai alternatifnya. Nilai alternatif ini akan semakin kokoh jika para insan pers mahasiswa tidak mudah tergiur oleh konten media secara umum – walaupun harus tahu – yang memiliki segmen masyarakat umum. Nilai alternatif pers kampus juga harus dipandang sebagai bentuk sarana mahasiswa untuk melakukan sebuah perubahan sosial sesuai dengan fungsi mahasiswa itu sendiri yaitu sebagai agen perubahan sosial (agen of social change).
Pers mahaiswa (Persma) mendorong untuk terbangunnya corak kemahasiswaan yang sarat ilmu dan pro terhadap rakyat, gandrung keadilan dan melawan segala bentuk ketidak adilan dan hegemoni kamun penguasa. Pers mahasiswa dengan demikian berfungsi sebagai pembangun idealisme dan intelektualitas transformatif nilai-nilai keilmuan dan pengabdian pada masyarakat.
Tantangan Pers Mahasiswa

Jurnalisme kampus (Pers Mahasiwa) satu dasawarasa belakangan ini terasa berjalan lamban dan terkesan jalan di tempat. Di tengah maraknya media massa baru yang tumbuh subur belakangan ini, produk jurnalisme kampus nyaris sama sekali tidak terdengar. Padahal produk Jurnalisme kampus di Indonesia pernah mengalami masa keemasan. Setidaknya, ia diwakili oleh pers mahasiswa yang terbit di awal tahun 1970-an misalnya Mahasiswa Indonesia, Harian KAMI dan Mimbar Demokrasi, yang pembacanya bukan hanya dari kalangan Mahasiswa, tetapi diminati masyarakat umum dengan oplah berkisar tiga puluh ribuan sampai tujuh puluh ribuan eksemplar.

Pertanyaannya, mengapa kini kondisi pers mahasiswa justru berbalik diametric dengan sejarahnya?. Sekarang ini pers mahasiswa dikalangan mahasiswa sendiri justtu tidak popular, bahkan tidak banyak mahasiswa yang tahu tentang keberadaan pers mahasiswanya, kecuali segelintir saja, yaitu pengelolanya dan paling jauh sesama aktivis mahasiswa, baik dilingkungan kampusnya maupun dikampus lainnya. Pers mahasiswa menjadi pers dengan pameo “hidup segan dan matipun tak mau”.
Dari berbagai ulasan tentang PERSMA, sedikitnya dapat ditemukan tiga faktor penyebab stagnasi Pers Mahasiswa kini. Pertama, faktor political-historis. Kedua, minimnya budaya menulis dan membaca dikalangan kampus, dan faktor ketiga adalah iklim kapitalisme media yang merajai dinamika kehidupan keseharian kita.

Secara historis, keberadaan pers mahasiswa tidak pernah bisa dilepaskan dari pengaruh rezim yang berkuasa. Berkali-kali produk jurnalisme kampus ini jatuh bangun. Pers mahasiswa tumbuh pertama kali dijaman kolonial dengan nama "Indonesia Merdeka", ia menjadi bagian alat perjuangan politik dalam menyuarakan nasionalisme Indonesia di tanah Eropa. Pendirinya adalah indische vereeneging, organisasi mahasiswa Indonesia di negeri Belanda. Kemudian dijaman Jepang, pers mahasiswa menjadi mandul akibat hegemoni janji-janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan.
Dalam sistem demokrasi liberal di tahun 1950-an, dan awal masa demokrasi terpimpin, pers mahasiswa kembali subur. Dengan sudut pandang ilmiah dan bobot berita yang didasari oleh pelbagai penelitian membuat pandangan-pandangan pers mahasiswa dipertimbangkan penguasa maupun masyarakat. Setelah itu, ditahun 1960-an, lonceng kematian pers mahasiswa dimulai justru saat mereka mulai mampu bersaing dengan pers komersial.

Sebab tidak lama kemudian pers mahasiswa terkotak-kotak menurut afiliasi ideologi partai yang bersaing pada jaman itu. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kebijakan politik Presiden Soekarno yang memerintahkan semua organisasi mahasiswa menyatakan dengan jelas sikap politiknya. Kendati pun demikian, pers mahasiswa tidak serta merta lantas mati. Harian KAMI, Mimbar Demokrasi dan beberapa media lain yang dikelola mahasiswa meneruskan perjuangannya dengan mengemukakan gagasan tentang pembangunan. Puncaknya, pada saat peristiwa Malari 1974, pers mahasiswa dituduh sebagai agitator yang memprovokasi kerusuhan dan pada gilirannya dilarang terbit oleh pemerintah. Peristiwa ini tidak berselang lama diikuti pembredelan terhadap beberapa media berpengaruh di Indonesia, seperti Indonesia Times, Merdeka, Pelita dan lain-lainnya.

Tekanan pemerintahan orde baru membuat jurnalisme kampus seperti hidup dibonsai. Isi surat kabar dikontrol ketat, bahkan tidak jarang isi berita dan artikel harus dirubah atau digagalkan karena intervensi pejabat kampus yang begitu ketakutan terhadap pemerintah. Beberapa pers mahasiswa yang nekad, dengan materi kritis langsung dibredel. Sedangkan yang lebih moderat, membiarkan halaman yang dilarang tetap kosong, bahkan secara berani sering ditulis " halaman ini sengaja dibiarkan kosong karena dilarang Pemerintah." Hal ini pernah penulis lakukan bersama kawan-kawan aktivis, pada masa itu, karena memuat wawancara khusus, dengan nara sumber Faisal Basri (ekonom dari UI) bertema "Bisnis Militer dan Keluarga Cendana" dalam sebuah edisi semester genap di tahun 1995, Majalah Dimensi Ekonomi yang dikelola Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) DIMEK FE UMM.

Selain tekanan dari pemerintah, kerap pula pers mahasiswa harus berhadapan dengan kebijakan rektorat karena bersikap kritis. Di kampus-kampus perguruan tinggi negeri, ancamannya lebih berat. mulai dari ancaman skorsing sampai dengan mempersulit kelulusan seorang aktivis. Lambat laun atas risiko yang berat itu, aktivitas jurnalisme kampus menjadi semacam "organisasi terlarang" dan pada gilirannya banyak dihindari mahasiswa.

Adapun minimnya budaya menulis dan membaca dikalangan mahasiswa maupun dosen di perguruan tinggi termasuk faktor-faktor penyebab kemerosotan jurnalisme kampus. Jamak diketahui, kegiatan menulis dikalangan mahasiswa biasanya hanya dikaitkan dengan kewajiban menulis laporan perkuliahan dan menulis kewajiban skripsi. Akibatnya, karena tidak terbiasa menulis, mahasiswa tidak sedikit yang melakukan penjiplakan (plagiasi) atas karya orang lain. Disini sebenarnya, mahasiswa bisa menarik manfaat dari keberadaan jurnalisme kampus. Sebab sejak awal ia akan mempelajari bagaimana teknik-teknik penulisan sehingga tidak sampai melakukan penjiplakan.

Kurangnya apresiasi dari pengelola kampus terhadap budaya menulis menyebabkan secara tidak langsung image jurnalisme kampus sebagai kegiatan kurang bermanfaat untuk dilakukan mahasiswa. Disamping itu ketatnya jam perkuliahan memang membutuhkan siasat tersendiri bagi yang ingin masuk dalam kegiatan ini. Mereka harus mampu mengatur kesibukan mengelola media dan mengatur jadwal masuk kelas.

Di luar itu, iklim kapitalisme media yang menjadikan acara infotainment di televisi lebih menggugah kesenangan masyarakat membuat jurnalisme kampus semakin tergeser. Peredaran surat kabar, yang berbau politis sampai pornografi, setidaknya menurut pengamatan penulis, tidak jarang membuat media yang dikelola mahasiswa kesulitan menentukan potitioning segmen pasar. Seringkali materi berita atau pun gagasannya sudah basi sehingga kurang menarik bagi pembaca.

Lebih memprihatinkan lagi, kemerosotan nilai dan mutu itu cenderung mematikan secara perlahan pers-pers kampus. Contohnya, apresiasi Goenawan Mohamad dan prestasi yang pernah dikalungkan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta kepada majalah DIMEK FE UMM sebagai pers mahasiswa bermutu tingkat nasional, tidak mampu menghalangi majalah yang diterbitkan dalam tiga bulanan- dan pernah beroplah sampai lima ribu eksemplar sekali terbitnya itu- berubah menjadi sebuah buletin tidak bermutu yang diterbitkan enam bulanan sekali.

Sebagai konsekuensi adanya kapitalisme media, dewasa ini kita betul-betul merasakan kebutuhan untuk menerima informasi secara netral, jujur dan objektif. Oleh sebab menjamurnya media-media baru secara paradoksal justru membingungkan masyarakat pembaca. Fenomena ini ditangkap juga oleh Yasraf A Piliang. Dikatakannya, kuatnya kepentingan ekonomi dan kekuasaan politik sesungguhnya menjadikan media tidak dapat netral, jujur, adil, objektif dan terbuka. Akibatnya, informasi yang disuguhkan oleh media telah menimbulkan persoalan objektivitas pengetahuan yang serius pada media itu sendiri.

Lebih lanjut dikatakan Yasraf, kepentingan-kepentingan ekonomi dan kekuasaan politik akan menentukan apakah informasi yang disampaikan oleh sebuah media mengandung kebenaran (truth) atau kebenaran palsu (pseudo-truth); menyampaikan objektivitas atau subjektivitas; bersifat netral atau berpihak; mempresentasikan fakta atau memelintir fakta; menggambarkan realitas (reality) atau menyimulasi realitas (simulacrum) (2004:134).

Terkadang di satu media kita melihat, pihak yang disalahkan oleh media lain muncul sebagai pihak yang benar. Begitu pula sebaliknya. Sangat terasa, media menjadi alat pemutarbalikan fakta, tergantung media itu punya kepentingan apa dan dibawah pengaruh kekuasaan siapa ke sanalah media berpaling dan menjual idealismenya.

Peluang PERSMA (Sebuah Epilog)

Dengan membaca kemungkinan dan berbagai distorsi yang terjadi pada tubuh pers dan media secara umum, Persma dapat dikatakan berpeluang untuk dapat maju dan berkembang pesat mengalahkan media umum. Tentu akan sangat menarik melihat munculnya jurnalisme kampus yang kredibel, akuntabel dan tetap dalam idealismenya, menjadi media perjuangan bagi kebenaran dan anti kesewenang-wenangan.
Nilai jual Persma bukanlah seperti nilai jual jurnalisme umum, yang selalu tidak bisa dilepaskan dari aspek kepentingan ekonomi (economi interest) dan aspek kepentingan kekuasaan (power interest). Pers Mahasiswa sedikitnya memiliki dua keunggulan dibandingkan pers umum:

Pertama, Pers mahasiswa berjuang demi sebuah idealisme dan mengusung visi transformative, memperjuangkan kepentingan masyarakat dan kebenaran yang mereka percayai. Kedua, Pers mahasiswa memiliki pasar yang jelas dan loyalis pembaca yang tetap yaitu sebanyak mahasiswa itu sendiri. Jika semua mahasiswa yang menjadi target pasar Persma ini mampu terpenuhi kebutuhan informasi mereka melalui PERSMA, bayangan kita tidaklah muluk-muluk; niscaya Persma menjadi Pers yang sanggup membawa perubahan dan ekses nasional dengan terbentuknya Negara yang bersih dan tertib (Good governance) dari semua keculasan yang ada seperti saat ini.

Terakhir, harapan masa depan Persma sepenuhnya berpulang kepada mahasiswa itu sendiri. Bagaimana mahasiswa merasa memiliki dan menyadari akan arti penting Persma dan wacana kritis yang diusungnya, demikian nasib Persma dipertaruhkan. Menduduk pentingkan Pers Mahasiswa sama dengan memberi peluang hidup bahkan lebih. Semestinya mahasiswa tidak melulu mengkonsumsi media yang bersifat infotainment belaka. Ketika kesadaran mahasiswa terbangun, nasib Persma tinggal bergantung pada pengelola pers mahasiswanya sendiri, mampukah mereka mengembangkan kreativitas dan peka dengan kebutuhan pasar? Tulisan ini diharapkan menjadi bahan perenungan bagi para jurnalis kampus.

Comments

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN

SOAL UTS Ushul Fiqih