LOMBA MENULIS PLN
PLN dan KEHIDUPAN MASA DEPAN
setiap anak dapat dipastikan menyimpan rekaman sejarah masa lampau keluarga mereka, cerita itu turun temurun dan dituturkan secara lisan oleh kakek-nenek mereka, diteruskan kepada anak-anaknya dan kepada cucu-cucu mereka.
saya ingat betul ketika mbah Nang -panggilan kakek untuk suku Jawa, setiap menjelang tidur bercerita. suatu malam mbah nang bercerita "Dulu... si mbah Nang mulai bercerita. ..."kehidupan begitu sederhana dan alamiah apa adannya". "kehidupan mbah Nang dan nenekmu ini, le thole (panggilan anak kecil di jawa; kacung dan thole) juga dimulai dari terbitnya matahari dan diakhiri dengan penerangan lampu teplok -menyebut lampu yang terbuat dari botol kaca bekas sirup dengan minyak tanah sebagai sumber energinya.
“setiap pagi sebelum si mbah Nangmu pergi ke ladang dan menggembalakan ternak, mbo' (panggilan nenek untuk suku jawa) mu selalu tidak pernah telat menyiapkan semua keperluan perbekalan mbah Nang mu ini.; meskipun dengan keterbatasan penerangan dan pencahayaan. sampai-sampai karena keterbatasan pencahayaan itu mbahmu pernah mengalami nasib tragis yakni "bencana kebakaran" krn lampu teplok terjatuh dari tangan dan mengenai jerami di kandang sapi, untungnya tidak ada korban jiwa saat itu”. Ujar mbah menarik napas panjang.
“Tapi kini… -lanjut Mbah Nang, cahaya di mana-mana, Negara sudah punya pembangkit Listrik sendiri hingga orang-orang tidak usah susah-susah menyalakan lampu setiap malam dan meniupnya pabila pagi datang. semestinya kemajuan seperti itu cung –nasihat mbah, dibarengi dengan kualitas anak-anak jaman sekarang. Kemajuan bukan untuk menurunkan kualitas, kemudahan bukan untuk membikin orang malas, ujar mbah nang berapi-api. “coba lihat bapak-bapak negara ini, tambah si mbah, orang-orang semacam soekarno, hatta dan temen-temen seperjuangan mbah mu ini mereka terlahir dan besar dengan keterbatasan dan kesederhanaan, namun mereka mampu menjadi orang besar. Mereka dulu tidak pernah merasakan kemudahan adanya PLN tetapi etos dan niat perjuangan mereka sekuat air bagi pembangkit listrik sekarang ini”.
“jangan Lupa nak, adanya PLN dan usaha untuk menerangi bangsa ini maknanya sangat luas. Kalau lingkungan dan rumah kita diterangi PLN setiap gelapnya, maka semestinya cita-cita hidup kita dan budaya berbangsa kita juga harus terang dan jelas sebagaimana PLN menerangi dan membikin sudut-sudut yang gelap menjadi terang dan jelas”.
Wassalam, Mustatho’
setiap anak dapat dipastikan menyimpan rekaman sejarah masa lampau keluarga mereka, cerita itu turun temurun dan dituturkan secara lisan oleh kakek-nenek mereka, diteruskan kepada anak-anaknya dan kepada cucu-cucu mereka.
saya ingat betul ketika mbah Nang -panggilan kakek untuk suku Jawa, setiap menjelang tidur bercerita. suatu malam mbah nang bercerita "Dulu... si mbah Nang mulai bercerita. ..."kehidupan begitu sederhana dan alamiah apa adannya". "kehidupan mbah Nang dan nenekmu ini, le thole (panggilan anak kecil di jawa; kacung dan thole) juga dimulai dari terbitnya matahari dan diakhiri dengan penerangan lampu teplok -menyebut lampu yang terbuat dari botol kaca bekas sirup dengan minyak tanah sebagai sumber energinya.
“setiap pagi sebelum si mbah Nangmu pergi ke ladang dan menggembalakan ternak, mbo' (panggilan nenek untuk suku jawa) mu selalu tidak pernah telat menyiapkan semua keperluan perbekalan mbah Nang mu ini.; meskipun dengan keterbatasan penerangan dan pencahayaan. sampai-sampai karena keterbatasan pencahayaan itu mbahmu pernah mengalami nasib tragis yakni "bencana kebakaran" krn lampu teplok terjatuh dari tangan dan mengenai jerami di kandang sapi, untungnya tidak ada korban jiwa saat itu”. Ujar mbah menarik napas panjang.
“Tapi kini… -lanjut Mbah Nang, cahaya di mana-mana, Negara sudah punya pembangkit Listrik sendiri hingga orang-orang tidak usah susah-susah menyalakan lampu setiap malam dan meniupnya pabila pagi datang. semestinya kemajuan seperti itu cung –nasihat mbah, dibarengi dengan kualitas anak-anak jaman sekarang. Kemajuan bukan untuk menurunkan kualitas, kemudahan bukan untuk membikin orang malas, ujar mbah nang berapi-api. “coba lihat bapak-bapak negara ini, tambah si mbah, orang-orang semacam soekarno, hatta dan temen-temen seperjuangan mbah mu ini mereka terlahir dan besar dengan keterbatasan dan kesederhanaan, namun mereka mampu menjadi orang besar. Mereka dulu tidak pernah merasakan kemudahan adanya PLN tetapi etos dan niat perjuangan mereka sekuat air bagi pembangkit listrik sekarang ini”.
“jangan Lupa nak, adanya PLN dan usaha untuk menerangi bangsa ini maknanya sangat luas. Kalau lingkungan dan rumah kita diterangi PLN setiap gelapnya, maka semestinya cita-cita hidup kita dan budaya berbangsa kita juga harus terang dan jelas sebagaimana PLN menerangi dan membikin sudut-sudut yang gelap menjadi terang dan jelas”.
Wassalam, Mustatho’
Comments