Merajut Kembali Kejayaan Kemanusiaan

Mewaspadai Pelapukan Guru
Pentingnya Kritisisme terhadap UU ‘Pensejahteraan’ Guru
Mustatho'[1]


Dengan lahirnya UU SISDIKNAS 2003 dan 'dimanjakannya' Guru dengan UU RI No 14 tahun 2005 seakan melambungkan profesi guru melebihi profesi-profesi lain. Guru menjadi hal penting setelah sekian lama dilupakan. Guru menjadi atribut yang paling menawan setelah sekian lama tidak diindahkan. Siapa yang sekarang tidak bangga menjadi seorang guru? Setiap orang tua saat ini akan membanggakan dan mengarahkan anaknya untuk menjadi seorang guru. Namun apakah persoalan tentang guru dan pendidikan selesai dengan topangan hukum UU SISDIKNAS 2003 dan UU RI No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen?.
Dengan tidak meneliti sedetail mungkin, UU SISDIKNAS 2003 dan UU RI No 14 tahun 2005 tahun tentang Guru dan Dosen, kita akan terpasung dalam ujaran ‘sempurna!’ dan ‘final!’ untuk menilai UU ini. Picik pikir yang demikian akan menjadikan penilaian selesai sebatas guru dan dosen telah mengalami peningkatan penghargaan dari yang semula di bawah layak menjadi memiliki standart gaji yang bisa membanggakan mereka. Hal dapat dimaklumi karena memang naïf pikir setiap manusia akan cenderung mengatakan "sudahlah kami sudah tersejahterakan". Inilah yang dapat mengkaburkan kekurangan UU SISDIKNAS tahun 2003 dan UU RI No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen melangit tanpa kekurangan dan bebas kritik.
Kalau kita mau kritis terhadap UU di atas (UU SISDIKNAS tahun 2003 dan UU RI No 14 tahun 2005 tahun tentang Guru dan Dosen, sebenarnya ada kekurangan fundamental yang diderita UU ini. Yakni ketidakterjaminan independensi dan atau otonomi guru. Otonomi dan independensi guru tidak mendapatkan jaminan dalam prespektif fungsional. Guru hanya menuruti koridor yang telah baku dalam UU, dan hal ini menjadikan guru kurang kreatif dan cenderung lamban dalam inovási, mereka melulu menikmati rutinitas mengajar apa adanya dalam lingkaran hegemoni struktural yang sudah mapan. Karena guru merasa karir dan kebutuhannya sebatas memenuhi kata-kata Undang Undang.
Perlunya Otonomi Guru
Kesibukan yang tampak mencolok hampir di semua sekolah akhir-akhir ini adalah, aktifitas guru yang meningkat dan semakin padat, guru sering berada di luar sekolah, sibuk mempersiapkan uji sertifikasi. Guru sibuk melengkapi kelengkapan portafolio, menghadiri seminar, kelas-kelas work-shop, dan pelatihan-pelatihan keguruan. Guru sibuk mengejar angka demi angka dan mengakumulasi point demi standard gaji yang diidamkan.
Dari fenomena real yang melanda guru di tanah air ini. Guru seakan menjadi objek bagi dirinya sendiri sekaligus mesin pemuas aturan UU. Guru melupakan fungsinya sebagai pendidik anak bangsa. Hal inilah yang dilupakan pemerintah, ketika menetapkan UU guru dan dosen, UU ini justru mencerabut guru dan menjadikan guru sebuah boneka yang harus berlaku searah-jalur UU, kalaupun tidak, guru akan terasing dalam dunianya. Harus disadari, melalui UU RI No14 tentang guru dan dosen ini, pemerintah hanya menyuguhkan 'daging' taken for granted yang jauh dari mengasah kreatifitas dan kemandirian guru. Guru dibatasi dalam ketentuan uji sertifikasi dan melulu bertindak dalam lingkarannya. Menurut penulis, hal esensial yang hilang dari guru –setelah UU RI No 14 ini adalah kemandirian dan kebebasan kreasi. Guru saat ini semakin menggantung pada kebijakan pemerintah. Hingga otonomi yang diharapkan ada pada guru semakin tidak disadari peran pentingnya.
Sebenarnya, apabila ditelisik lebih dalam, otonomi guru merupakan kelanjutan dari diberlakukannya otonomi sekolah. Namun kenyataanya belakangan ini sudah tidak bergeming lagi, akibat dari banyaknya kooptasi dan intervensi pemerintah pusat terhadap keberadaan guru di daerah dalam setiap satuan unit pendidikan. Ibaratnya, sebagaimana digambarkan Darmaningtyas (2005), guru-guru saat ini merupakan sekrup-sekrup mati yang tinggal digerak-gerakkan sesuai keinginan birokrasi pendidikan dari pusat.
Hal ini tentu sangat memprihatinkan. Di tengah kondisi carut marut pendidikan Indonesia yang sedang mencari pola, guru sebagai kunci terpenting pendidikan justru terasing dalam statusnya. Terombang-ambing dengan pola kebijakan yang ada. Untuk meraih kesejahteraan yang seharusnya menjadi haknya saja guru hampir saja membunuh naluri keguruannya, bahkan etika guru sebagai pendidik. Yang perlu diingatkan sejak awal kepada pemerintahan, -mengingat peran vital guru di sekolah adalah pemberian hak-hak guru tanpa harus membebani dengan seabrek persyaratan yang mempersulit mereka, dan pemberian otonomi penuh untuk menentukan model dengan berbagai varian intruksional pembelajarannya. Bukankah guru lebih mengetahui kondisi lapangan belajar dalam setiap detailnya?
Dengan pemberian otonomi guru seluas-seluasnya berarti menggambarkan nilai profesionalitas. Guru akan lebih profesional mengajar, independen, merdeka, dan lebih leluasa menentukan teknik, metode, dan materi yang lebih berkualitas untuk diajarkan kepada siswa, daripada harus mengikuti rumusan kurikulum pusat yang kadang sangat berseberangan dengan potensi lokal. Berkali-kali Prof. Mochtar Buchori, salah satu pakar pendidikan di Indonesia, menyerukan pentingnya otonomi guru agar lebih profesional dan independen.
Persatuan Guru sebagai Kebutuhan
Menurut penulis, untuk menciptakan iklim otonom pada guru, pada masing-masing tingkat satuan pendidikan, guru memerlukan usaha preventif dalam menjaga profesionalismenya, penyaluran aspirasi dan hak-haknya. Guru memerlukan organisai pemersatu di luar struktur pemerintah, yang independent dan mengerti akan kebutuhan guru. PGRI yang selama ini ada, nyatanya mengkungkung guru dan mengebiri otonomi dan kreasi mereka. PGRI sudah tidak relevan dan tidak mampu menfasilitasi guru-guru, sepanjang PGRI masih menjadi antribut yang taat terhadap pemerintah. Guru harus bersatu di bawah satu payung organisasi yang mampu menjamin hak-haknya pada level kepentingan politis dan hukum. Salah satu persatuan guru yang saat ini dirintis dan dihidupkan kembali misalnya, di lingkungan NU ada PERGUNU (Persatuan Guru Nahdhatul Ulama'), dan lain-lain.
Persatuan guru sangat dibutuhkan sebagai medan perjuangan para guru untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui kerja sama yang intens para guru antar sekolah, baik negeri maupun swasta dalam semua satuan unit pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah. Di sisi lain, persatuan guru tersebut dapat berfungsi sebagai pelindung para guru agar tidak termarjinalisasi baik secara politik maupun ekonomi akibat dari adanya berbagai kebijakan pemerintah yang sering tidak menguntungkan guru.
Persatuan guru harus mampu menciptakan guru otonom yang profesional, independen, cerdas, kritis, tidak low curiosity, dan yang terpenting tidak takut pada birokrasi pemerintah pusat maupun pada Departemen Pendidikan Nasional kalau sekiranya mendapati kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepentingan pendidikan masyarakat secara luas.
Lebih dari itu, organisasi persatuan guru harus menjadi pelindung strategis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang sekiranya akan melemahkan eksistensi guru. Sebab, guru masih menjadi élan vital bagi berlangsungnya suatu proses pendidikan, dimanapun dan sampai kapanpun. Inilah beberapa hal krusial yang perlu diperhatikan dibalik adanya deklarasi persatuan guru, biar tidak hanya sekedar deklarasi tanpa makna dan tanpa tujuan yang jelas.
Kalau setiap organisasi guru yang ada mementingkan keperluan guru, siswa dan sekolah, maka dengan sendirinya peningkatan mutu pendidikan akan tercapai, otonomi guru dan sekolah lebih terjamin. Pointer paling penting dari usa ini adalah peningkatan mutu pendidikan sangat didukung oleh adanya otonomi guru. Otonomi guru mati, maka mutu pendidikan pun akan terkubur
Mustatho’. Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. saat ini nyambi ilmu di LEMLIT IAIN Sunan Ampel Surabaya
[1] Warga Prambontergayang, Soko, Tuban. Aktif di PERGUNU Jawa Timur sebagai Koordinator Litbang PERGUNU Surabaya preode 2007-2011.
Tulisan lain yang pernah terbit: Mengurai Benang Kusut Pendidikan di Indonesia (DUTA Masyarakat, 12 Juli 2007)., Peluang Mutu Pendidikan di Indonesia, (DUTA Masyarakat, 24 Januari 2008).

Comments

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN

SOAL UTS Ushul Fiqih