POTENSI EKONOMI KAUM MISKIN DAN PEMBERDAYAANNYA
“Yang kami butuhkan adalah makan terlepas siapa yang memimpin Negara ini”
(sebuah wawancara dengan pengemis di Pinggiran
Sangat beralasan kemudian, Negara, dengan siapapun pemimpinnya, tidak menjadi urusan mereka, karena memang seperangkat sistem dan aturan hukum Negara ini masih begitu lemah untuk membela kepentingan kaum miskin pinggiran
Ketimpangan, kesenjangan dan ketidakmerataan atau inequality menjadi kehidupan yang lekat dengan kondisi kaum pingggiran yang tertindas. Secara teoritis, kesenjangan sosial yang ada, tidak bisa terlepas dari peran Negara dan masyarakat sekitar yang ada. Pemerintahan mengkonstruks sistem yang tidak berpihak dan jauh dari peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Meskipun, pemerintahan dapat dinilai tidak lepas tangan sama sekali, namun pemberdayaan yang ada ternyata tidak disertai dengan political will yang benar-benar bertujuan mengentaskan kemiskinan. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimanakah sebenarnya pola pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan yang cocok untuk masyarakat miskin
Pada dasarnya, program pemberantasan kemiskinan pernah digagas oleh pemerintah melalui pendekatan gabungan, antara pemerintah, LSM (NGO) dan kelas pengusaha. Inisiasi program gabungan ini berupa corporate social responsibility (CSR), yakni wujud kepedulian bersama terhadap kemiskinan. Namun sekali lagi program seperti inipun sering menemui jalan buntu. Karena alokasi dana social dari sebuah perusahaan sering kali dilihat sebagai beban, pengusaha hanya beramal sejauh imbauan pemerintah dan LSM tanpa usaha mengembangkannya. Maka, sering kali pendekatan ini cenderung tidak berkelanjutan, apalagi karena umumnya amal tidak memberdayakan kapasitas ekonomi sang miskin.
Kebuntuan ini menciptakan frustrasi dan kekecewaan yang berujung pada tuduhan bahwa pengusaha mencari keuntungan tanpa peduli sosial. Di lain pihak, pengusaha pun merasa amal yang diminta berlebihan, lebih daripada yang bisa dipertanggung-jawabkan kepada pemilik perusahaan. Selain itu, karena dianggap tidak memberi keuntungan menjanjikan, banyak perusahaan ragu menaruh perhatian khusus pada kelompok miskin sebagai target pasar utama.
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Miskin
CK Prahalad dalam The Fortune at the Bottom of the Pyramid (2004), menawarkan jalan keluar dari kebuntuan ini. Lewat analisis tajam dan studi-studi kasus yang mengesankan, Profesor Strategi Korporasi dan Bisnis Internasional dari University of Michigan Business School ini mendobrak batasan antara upaya memenuhi kebutuhan masyarakat miskin dan pencarian keuntungan, keduanya bisa berdampingan demi pemberdayaan masyarakat miskin yang berkelanjutan.
Pertanyaan awal yang patut diungkapkan, mengapa muncul kebuntuan semacam ini? Kebuntuan ini, menurut Prahalad, berakar dari paradigma yang mempertentangkan keuntungan dan penyediaan kebutuhan orang miskin. Pengusaha beranggapan keuntungan dari upaya memenuhi kebutuhan khusus masyarakat miskin tidak sebanding. Sementara ada anggapan bahwa pemberantasan kemiskinan harus bersifat sosial, tanpa pamrih; pengusaha yang besar dengan menyediakan kebutuhan kaum miskin selalu dilirik penuh curiga.
Anggapan umum ini meremehkan potensi ekonomi yang dimiliki kaum miskin dan Prahalad menunjukkan kekeliruan anggapan ini. Prahalad menulis "Jika kita berhenti menganggap sang miskin sebagai korban atau beban dan mulai melihat mereka sebagai pengusaha yang ulet dan kreatif serta konsumen yang selalu mencari penawaran terbaik... [maka] empat miliar orang miskin dapat menjadi motor dari... kesejahteraan dunia".
Prahalad menunjukkan bahwa potensi ekonomi kelompok miskin, yang diberinya istilah bottom of the pyramid (BOP), sebagai kontras atas yang terkaya di puncak piramida ekonomi, tak bisa diremehkan. Dalam jumlah saja, empat miliar orang miskin di dunia-dan lebih dari 30 juta di
Banyak perusahaan mulai menyadari potensi pasar BOP; namun, kebanyakan beranggapan penetrasi ke pasar BOP dapat dilakukan dengan modifikasi kecil atas produk yang sudah ada. Prahalad menunjukkan kelirunya anggapan ini. Kerap, kebutuhan konsumen BOP begitu unik sehingga kesuksesan menembus pasar BOP menuntut inovasi khusus yang menomorsatukan kebutuhan sang miskin sebagai konsumen dan pelaku ekonomi.
Sering kali modifikasi produk yang ada tidak cukup bagi konsumen BOP. Keterbatasan sumber daya konsumen BOP menciptakan kebutuhan yang begitu spesifik. Studi-studi kasus dalam buku ini menunjukkan bahwa kesuksesan merengkuh konsumen-konsumen BOP ditentukan besarnya perhatian terhadap kebutuhan spesifik mereka itu, mulai dari kebutuhan kredit sampai dengan kebutuhan akan produk berkualitas dan pelayanan yang dapat dipercaya.
Perhatian saksama ini, di satu pihak menciptakan keuntungan bagi pengusaha. Di lain pihak, konsumen miskin dalam pasar BOP juga diuntungkan karena mendapat kesempatan meningkatkan kualitas hidup mereka. Pelbagai inovasi yang dipaparkan dalam buku ini memperlihatkan kualitas kesehatan, tempat tinggal, aset, serta pelayanan yang meningkat akibat partisipasi swasta menyediakan produk dan pelayanan bagi konsumen BOP.
Namun, keuntungan terpenting adalah dihargainya masyarakat miskin sebagai pelaku ekonomi, dan bukan sekadar penerima amal. "When the poor at the BOP are treated as consumers, they can reap the benefit of respect, choice, and self-esteem and have an opportunity to climb out of the poverty trap". Aktivitas swasta di pasar BOP memberdayakan; bahwa pengusaha mendapatkan keuntungan dengan memenuhi kebutuhan sang miskin memberlanjutkan pemberdayaan ini.
Sebenarnya, banyak inovasi yang ‘baru’ ada di
Dalam kajiannya, Prahalad memaparkan, ada empat prasyarat penting sukses dalam pasaran ini. Pertama, kemampuan konsumsi sang miskin harus diberdayakan, bukan dengan amal, melainkan dengan inovasi pendanaan. Kedua, produk dan pelayanan baru perlu diciptakan untuk memenuhi kebutuhan spesifik mereka. Ketiga, penting untuk tidak meremehkan harga diri dan pilihan para pelaku ekonomi BOP. Keempat, perlu dibangun rasa percaya-apalagi mengingat begitu seringnya kepercayaan masyarakat miskin dikecewakan.
Analisis Prahalad ini mempunyai nilai yang amat berharga bagi pengusaha, terutama di negara berkembang seperti
Selama ini pencarian keuntungan kerap disamakan dengan perilaku antisosial; maka tak heran jika penolakan terhadap keterlibatan swasta menyediakan kebutuhan masyarakat miskin begitu gencar. Padahal, pengalaman menunjukkan, justru keuntungan inilah yang memungkinkan kemitraan antara pengusaha dan sang miskin "untuk berinovasi dan mencapai win-win scenarios yang berkelanjutan".
Oleh karena itulah pemerintah dan LSM perlu mengubah paradigma tentang keterlibatan pengusaha memberantas kemiskinan. Alih-alih pendekatan amal, pendekatan seperti inilah yang harus dipupuk. Sinergi antara pemerintah, LSM, dan pengusaha akan memunculkan inovasi-inovasi baru yang menguntungkan semua, hingga pada akhirnya mampu memberdayakan sang miskin secara berkelanjutan.
Mustatho’.
PBHI
Alamat. Jl. Legoso Raya RT. 03/07 N0. 28, Pisangan, Ciputat, 15419.
Telp. 021-32678034 / 0815 7878 5376.
Email. tatok.m@gmail.com
Blog. http//mustathok.blogspot.com
Comments