POTENSI EKONOMI KAUM MISKIN DAN PEMBERDAYAANNYA

Gambar.1 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin

“Yang kami butuhkan adalah makan terlepas siapa yang memimpin Negara ini”

(sebuah wawancara dengan pengemis di Pinggiran kota Surabaya, menjelang pemilu 2004).

Ucapan di atas keluar dari mulut salah seorang pengemis (kaum pinggiran) Surabaya, menjelang pemilu 2004. Tak pelak, sebuah gamparan terhadap pemerintahan terpampang di sini, masyarakat telah kehilangan minat untuk terlibat ‘bermain-main’, terlebih mempercayakan harapan mereka kepada pemerintahan Indonesia saat ini. Apatisme public, utamanya kaum pinggiran (pengemis dan tuna wisma) telah mencuat ke dalam sebentuk keberanian untuk bersikap, anti-politik. Mereka menyuarakan ketidakpedulian terhadap kemajuan dan proses yang sedang terjadi di Negara ini, karena memang pemerintahan selalu tidak berpihak kepada mereka. Bahkan kesadaran mereka telah terbentuk, bahwa merekalah yang menghidupi para politisi Negara ini, karena sering kali mereka adalah alat dalam setiap proses negara ini menjelang pemihan pemimpinnya (pemilu Negara perlima tahunan).

Sangat beralasan kemudian, Negara, dengan siapapun pemimpinnya, tidak menjadi urusan mereka, karena memang seperangkat sistem dan aturan hukum Negara ini masih begitu lemah untuk membela kepentingan kaum miskin pinggiran kota. Negara bagi kaum pinggiran hanya penting menjelang pemilu yang diselenggarakan sekali dalam lima tahun ini. Walaupun secara nyata pada akhirnya mereka hanya menyediakan janji-janji manis yang sulit dirasakan. Lebih lanjut reponden mengatakan "kegagalan negara mengentas kaum pinggiran (pengemis) dari problem kemanusiaan menjadi pemicu bagi kami untuk tidak peduli lagi".

Ketimpangan, kesenjangan dan ketidakmerataan atau inequality menjadi kehidupan yang lekat dengan kondisi kaum pingggiran yang tertindas. Secara teoritis, kesenjangan sosial yang ada, tidak bisa terlepas dari peran Negara dan masyarakat sekitar yang ada. Pemerintahan mengkonstruks sistem yang tidak berpihak dan jauh dari peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Meskipun, pemerintahan dapat dinilai tidak lepas tangan sama sekali, namun pemberdayaan yang ada ternyata tidak disertai dengan political will yang benar-benar bertujuan mengentaskan kemiskinan. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimanakah sebenarnya pola pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan yang cocok untuk masyarakat miskin Indonesia?

Pada dasarnya, program pemberantasan kemiskinan pernah digagas oleh pemerintah melalui pendekatan gabungan, antara pemerintah, LSM (NGO) dan kelas pengusaha. Inisiasi program gabungan ini berupa corporate social responsibility (CSR), yakni wujud kepedulian bersama terhadap kemiskinan. Namun sekali lagi program seperti inipun sering menemui jalan buntu. Karena alokasi dana social dari sebuah perusahaan sering kali dilihat sebagai beban, pengusaha hanya beramal sejauh imbauan pemerintah dan LSM tanpa usaha mengembangkannya. Maka, sering kali pendekatan ini cenderung tidak berkelanjutan, apalagi karena umumnya amal tidak memberdayakan kapasitas ekonomi sang miskin.

Kebuntuan ini menciptakan frustrasi dan kekecewaan yang berujung pada tuduhan bahwa pengusaha mencari keuntungan tanpa peduli sosial. Di lain pihak, pengusaha pun merasa amal yang diminta berlebihan, lebih daripada yang bisa dipertanggung-jawabkan kepada pemilik perusahaan. Selain itu, karena dianggap tidak memberi keuntungan menjanjikan, banyak perusahaan ragu menaruh perhatian khusus pada kelompok miskin sebagai target pasar utama.

Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Miskin

CK Prahalad dalam The Fortune at the Bottom of the Pyramid (2004), menawarkan jalan keluar dari kebuntuan ini. Lewat analisis tajam dan studi-studi kasus yang mengesankan, Profesor Strategi Korporasi dan Bisnis Internasional dari University of Michigan Business School ini mendobrak batasan antara upaya memenuhi kebutuhan masyarakat miskin dan pencarian keuntungan, keduanya bisa berdampingan demi pemberdayaan masyarakat miskin yang berkelanjutan.

Pertanyaan awal yang patut diungkapkan, mengapa muncul kebuntuan semacam ini? Kebuntuan ini, menurut Prahalad, berakar dari paradigma yang mempertentangkan keuntungan dan penyediaan kebutuhan orang miskin. Pengusaha beranggapan keuntungan dari upaya memenuhi kebutuhan khusus masyarakat miskin tidak sebanding. Sementara ada anggapan bahwa pemberantasan kemiskinan harus bersifat sosial, tanpa pamrih; pengusaha yang besar dengan menyediakan kebutuhan kaum miskin selalu dilirik penuh curiga.

Anggapan umum ini meremehkan potensi ekonomi yang dimiliki kaum miskin dan Prahalad menunjukkan kekeliruan anggapan ini. Prahalad menulis "Jika kita berhenti menganggap sang miskin sebagai korban atau beban dan mulai melihat mereka sebagai pengusaha yang ulet dan kreatif serta konsumen yang selalu mencari penawaran terbaik... [maka] empat miliar orang miskin dapat menjadi motor dari... kesejahteraan dunia".

Prahalad menunjukkan bahwa potensi ekonomi kelompok miskin, yang diberinya istilah bottom of the pyramid (BOP), sebagai kontras atas yang terkaya di puncak piramida ekonomi, tak bisa diremehkan. Dalam jumlah saja, empat miliar orang miskin di dunia-dan lebih dari 30 juta di Indonesia- adalah pasar potensial yang besar. Dari sudut daya beli riil, potensi pasar BOP bernilai lebih dari 13 triliun dollar AS, melebihi nilai total pasar Jepang, Jerman, Perancis, Inggris, dan Italia.

Banyak perusahaan mulai menyadari potensi pasar BOP; namun, kebanyakan beranggapan penetrasi ke pasar BOP dapat dilakukan dengan modifikasi kecil atas produk yang sudah ada. Prahalad menunjukkan kelirunya anggapan ini. Kerap, kebutuhan konsumen BOP begitu unik sehingga kesuksesan menembus pasar BOP menuntut inovasi khusus yang menomorsatukan kebutuhan sang miskin sebagai konsumen dan pelaku ekonomi.

Sering kali modifikasi produk yang ada tidak cukup bagi konsumen BOP. Keterbatasan sumber daya konsumen BOP menciptakan kebutuhan yang begitu spesifik. Studi-studi kasus dalam buku ini menunjukkan bahwa kesuksesan merengkuh konsumen-konsumen BOP ditentukan besarnya perhatian terhadap kebutuhan spesifik mereka itu, mulai dari kebutuhan kredit sampai dengan kebutuhan akan produk berkualitas dan pelayanan yang dapat dipercaya.

Perhatian saksama ini, di satu pihak menciptakan keuntungan bagi pengusaha. Di lain pihak, konsumen miskin dalam pasar BOP juga diuntungkan karena mendapat kesempatan meningkatkan kualitas hidup mereka. Pelbagai inovasi yang dipaparkan dalam buku ini memperlihatkan kualitas kesehatan, tempat tinggal, aset, serta pelayanan yang meningkat akibat partisipasi swasta menyediakan produk dan pelayanan bagi konsumen BOP.

Namun, keuntungan terpenting adalah dihargainya masyarakat miskin sebagai pelaku ekonomi, dan bukan sekadar penerima amal. "When the poor at the BOP are treated as consumers, they can reap the benefit of respect, choice, and self-esteem and have an opportunity to climb out of the poverty trap". Aktivitas swasta di pasar BOP memberdayakan; bahwa pengusaha mendapatkan keuntungan dengan memenuhi kebutuhan sang miskin memberlanjutkan pemberdayaan ini.

Sebenarnya, banyak inovasi yang ‘baru’ ada di Indonesia. Inovasi microfinancing, misalnya, sudah lama dijalankan oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI), dengan hasil yang amat memuaskan. Kampanye-kampanye kesehatan publik yang dilakukan perusahaan produk-produk konsumen, misalnya, meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama yang miskin, tentang gaya hidup bersih dan sehat. Kesuksesan pelbagai inovasi ini membuktikan dapat diterapkannya resep-resep dalam buku ini di Indonesia. Dengan 16 persen penduduk di bawah garis kemiskinan, kesempatan berkiprah di pasar BOP di Indonesia jelas terbuka lebar.

Dalam kajiannya, Prahalad memaparkan, ada empat prasyarat penting sukses dalam pasaran ini. Pertama, kemampuan konsumsi sang miskin harus diberdayakan, bukan dengan amal, melainkan dengan inovasi pendanaan. Kedua, produk dan pelayanan baru perlu diciptakan untuk memenuhi kebutuhan spesifik mereka. Ketiga, penting untuk tidak meremehkan harga diri dan pilihan para pelaku ekonomi BOP. Keempat, perlu dibangun rasa percaya-apalagi mengingat begitu seringnya kepercayaan masyarakat miskin dikecewakan.

Analisis Prahalad ini mempunyai nilai yang amat berharga bagi pengusaha, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Bukan hanya mereka yang perlu membacanya-pejabat pemerintah, LSM, dan siapa pun yang peduli pengentasan kaum miskin, perlu belajar dari pengalaman Prahalad ini.

Selama ini pencarian keuntungan kerap disamakan dengan perilaku antisosial; maka tak heran jika penolakan terhadap keterlibatan swasta menyediakan kebutuhan masyarakat miskin begitu gencar. Padahal, pengalaman menunjukkan, justru keuntungan inilah yang memungkinkan kemitraan antara pengusaha dan sang miskin "untuk berinovasi dan mencapai win-win scenarios yang berkelanjutan".

Oleh karena itulah pemerintah dan LSM perlu mengubah paradigma tentang keterlibatan pengusaha memberantas kemiskinan. Alih-alih pendekatan amal, pendekatan seperti inilah yang harus dipupuk. Sinergi antara pemerintah, LSM, dan pengusaha akan memunculkan inovasi-inovasi baru yang menguntungkan semua, hingga pada akhirnya mampu memberdayakan sang miskin secara berkelanjutan.

Mustatho’.

PBHI Jakarta

Alamat. Jl. Legoso Raya RT. 03/07 N0. 28, Pisangan, Ciputat, 15419.

Telp. 021-32678034 / 0815 7878 5376.

Email. tatok.m@gmail.com

Blog. http//mustathok.blogspot.com

Comments

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN