PROBLEM BLT YANG TIDAK KUNJUNG USAI


Pada awal kemunculannya, program BLT marak jadi sorotan para ahli, penolakan dan aksi turun jalan dari aktivis anti komodifikasi kemiskinan pun marak. Namun bagi pemerintaha, alih-alih mempertimbangkan usulan para ahli dan melihat alasan para demostran menolak program BLT ini dengan turun jalan, pemerintah justru berbangga hati dengan menggelontorkan program BLT dengan cepatnya –tanpa pertimbangan akademis terlebih dulu, dan hanya berdasar pada data BLT tahun 2005. Pemerintah Pusat melalui kantor pos yang ditunjuk di tiap daerah kabupaten dan kecamatan, mulai mengalirkan dana Bantuan Langsung Tunai ini. Fakta lapangan tentang ketidakmerataan pembagian dan banyaknya salah sasaran tetap saja didalih oleh pemerintah sebagai hal yang wajar dan dianggap sangat manusiawi. Topangan rapuh penerapan BLT yang telah diwanti-wantikan oleh banyak ahli dan kalangan ekonom, kemudian terbaru melalui kajian LIPI tentang program BLT membuktikan bahwa argumentasi pemerintah dengan program BLT yang digadang mampu mengangkat kemiskinan dan menumbuhkan ekonomi sector menengah, justru mengakibatkan loss opportunity 11 triliun dari target penambalan APBN sebesar 34,5 triliun ke 45 trillun (Koran Jakarta 30/05/2008). BLT yang ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengeleminasi pengangguran dan mempengaruhi inflasi pada taraf paling rendah (dengan target mencapai 8,8 persen) nyataya hampa dan banyak menimbulkan masalah.

Terlepas dari simpang siur kajian teoritis yang ada, yang jelas program BLT ini telah terlaksana, namun akhir-akhir ini persoalan kembali muncul, banyak masyarakat yang merasa tercatat sebagai warga miskin pada tahun 2005 saat ini tidak mendapatkan jatah seperti yang seharusnya, pada hal kondisi mereka tidak jauh berubah. Di samping itu, tidak ada pemberitahuan bahwa perolehan yang seharusnya diterima mereka dialihkan kepada warga miskin yang lainnya. Untuk itulah kajian BLT seharusnya tetap dalam pengawasan kita.

Harus disadari, bahwa program BLT sendiri apabila ditinjau dari kaca mata sosiologis, mempunyai kelemahan akut yang memprihatinkan dan sangat perlu dipersoalkan. Yakni efek psikologis dan mentalitas yang terbangun dari adanya program ini. Efekt tersebut adalah, pertama secara psikologis, prodram BLT akan menumbuhkan mental ketergantungan, mental agresi kepada sesama (antara yang tidak dapat dan yang dapat), dan mental konsumtif. Program BLT ini dalam ukuran kurun tertentu –kesekarangan-temporal, memang tampak dapat meningkatkan perkenomian, akan tetapi dalam ukuran masa depan Indonesia, bantuan ini akan mengakibatkan kristalisasi mental pada budaya malas. Kemalasan inilah yang harus kita hindari dan pun penyebabkan (termasuk BLT) selayaknya harus diharamkan. Kedua dengan BLT, masyarakat miskin penerimanya tidak akan pernah merasa dan mampu membangun mental sebagai warga terhormat bangsa, yang siap menyatakan kemandirian dan membangun perekonomian mandiri terlepas dari kemiskinan. Dari dua alasan ini, program BLT bisa sebut sebagai program pelembagaan masyarakat miskin Indonesia. Pertanyaanya kemudian adalah, bagaimana mungkin masyarakat maju (bebas dari kemiskinan) yang diidamkan Indonesia akan terbentuk, sementara pemerintahannya menyuburkan praktek pemiskinan –dengan program BLTnya?

BLT dan Teori Kemiskinan.

Kemiskinan merupakan masalah sosial laten yang senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat, tidak terkecuali di Indonesia. Paham kemiskinan dalam perkembangannya telah mengalami banyak perkembangan makna. Kemiskinan yang pada awalnya memiliki arti simplisit pada masalah kurangnya pendapatan (income-poverty), telah bergeser pada makna yang lebih umum. Paham yang mengatakan kemiskinan adalah kemiskinan pendapatan (income-poverty) adalah paham yang mensimplifikasi masalah kemiskinan pada masalah ekonomi belaka. Oleh karena itu tak heran pendekatan ini banyak dikritik oleh para pakar ilmu sosial sebagai pendekatan yang kurang bisa menggambarkan potret kemiskinan secara lengkap. Karena memang kemiskinan di sini digambarkan seakan-akan hanyalah masalah ekonomi yang ditunjukkan oleh rendahnya pendapatan seseorang atau keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Paham Kemiskinan seharusnya tidak berhenti pada masalah kemiskinan yang menyangkut aspek ekonomi, tetapi juga pada akses politik dan kemapanan sosial-psikologis seseorang. Dengan demikian paham kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks ini menyangkut tidak hanya aspek finansial, melainkan pula semua jenis ”kekayaan” (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Pemenuhan akses politik, usaha dan keterjaminan hak yang sama pada akses kekayaan (sumber daya alam), dan pendidikan bermutu merupakan diantara sekian sumber kekayaan yang sama-sama harus terjamin pemenuhannya secara merata oleh semua kalangan.

Banyak teorisi yang meninjau kemiskinan dari dua teori besar. Yakni teori Struktural-fungsional dan cultural-psikological. Teori kultural-psikological berasumsi bahwa kemiskinan adalah masalah mental dan budaya. Menurut teori ini kemisikinan sebenarnya berasal dari diri masyarkat sendiri yakni budaya malas dan mental malas bekerja. Masyarakat yang memiliki mental malas dan tidak suka bekerja akan sulit merubah kondisi masyarakat ke arah yang lebih baik dan selamanya akan menjadi miskin. Kelompok ini melepaskan masalah sebatas permasalahan intern masyarakat (mental dan budaya) tanpa melihat penyebab lain. Bahwa di samping budaya dan mental malas ada antisedent yang membentuk kemalasan ini. Teori kedua adalah teori struktural-fungsional yang meyakini bahwa masalah kemiskinan adalah bentukan dari ketidakadilan struktur yang ada. Sistem sosial, pemerintahan dan kebijakan-kebijakan yang tidak memberikan peluang perubahan pada nasib masyarakat miskin. Teori ini berpendirian, bagaimana masyarakat miskin mampu meningkatkan tarap hidup mereka sementara sistem sosial dan pemerintahan selalu tidak berpihak pada mereka?

Dalam kasus BLT, kedua teori ini sangatlah kering apabila diterapkan secara terpisah. Menggambarkan kemiskinan yang ditimbulkan oleh BLT melalui analisis fungsional-struktural semata, ataupun kultural-psikological secara terpisah, tidak akan mampu memasuki ruang subtansial yang dipersoalkan. Alih-alih memberi solusi, pemisahan dua teori kemiskinan yang sering dirujuk oleh terorisi Indonesia ini akan menyumbangkan kerancuan metodologikal. Teori pertama akan berkutat pada lingkaran pertanyaan ”apakah kemiskinan itu disebabkan oleh kemalasan masyarakat ataukah sebaliknya kemalasan masyarakat disebabkan oleh kemiskinan mereka?”. Teori kedua akan berbenturan dengan pertanyaan ”apakah struktur sosial, pemerintahan yang tidak berpihak pada masyarakat miskin akan terbuka dengan sendirinya untuk memberdayakan masyarakat miskin?”. Kedua teori ini akan sangat sulit melepaskan diri pada asumsi teori masing-masing. Kasus BLT adalah contoh nyata bagaimana kedua teori ini tidak bisa berdiri secara terpisah. BLT adalah produk sistem pemerintahan (sruktural-fungsional) yang mengakibatkan efek psikologis/mental dan budaya malas masyarakat (kultural-psikologikal). BLT seumpama pemberian adalah permintaan anak yang menginginkan bentuk-bentuk reward namun dalam bentuk sekali pakai. Reward ini akan membentuk nilai konsumtif dan mendidik anak untuk memperoleh sesuatu hanya dengan tujuan pemakaian yang sesaat.

BLT, Amunisi Pelapukan Desa

Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75 persen). Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2006, sebagian besar (63,41 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan. Untuk itu tidak mengherankan jika alokasi dana BLT ini banyak di alokasikan pada masyarakat di pedesaan. BLT plus saat ini merupakan tindak lanjut BLT yang pernah diadakan pertama kali oleh pemerintahan SBY-JK pada tahun 2005. Sebagai pembanding data statistik di BPS jumlah penduduk miskin pada Februari 2005 berjumlah 35,10 juta (15,97 persen) yang berarti jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta. Namun demikian statement Rusman Herdiawan (kepala BPS pusat) berbanding berbalik. Rusman mengatakan bahwa angka 39 juta penduduk miskin adalah angka keberhasilan BLT mengurangi kemiskinan yang seyogyanya kemiskinan mencapai jumlah 50 juta jiwa (SCTV Jumat 30/05/2008).

Dengan data di atas, BLT secara nyata dapat dikatakan sebagai tindakan sistematis penghancuran kreatifitas masyarakat miskin. Dengan menerima BLT, secara struktural masyarakat akan semakin tergantung dengan pemerintah sementara secara psikologis dalam diri masyarakat akan tumbuh jiwa-jiwa pengiba dan tidak malu untuk menjadi sorang peminta-minta. BLT secara operasional dapat ditolak setidaknya dengan beberapa alasan. Pertama secara teoritis pemerintah telah salah mengkalkulasikan efektifitas BLT untuk rakyat miskin. Kenaikan angka kemiskinan yang ada pada data BPS sebagai bukti. Kedua logika statement Rusman Herdiawan (kepala BPS pusat) yang saling berbanding terbalik ddengan data BPS yang ada. Dari data BPS antara tahun 2005-2006, angka kemiskinan naik 3,95 juta jiwa dari jumlah penduduk miskin 35,10 juta jiwa (15,97 persen) pada tahun 2005 ke 39,05 juta jiwa (17,75 persen) pada tahun 2006. Hal ini berarti kenaikan justru terjadi pasca keberlangsungan program BLT diterapkan. Lalu kemudian kenapa BLT masih dianggap berhasil mengurangi kemiskinan?

Alasan ketiga ada pada alokasi BLT yang kebanyakan pada daerah pedesaan, justru membuat masyarakat desa yang sebelumnya bisa hidup damai, yang secara kebutuhan pokok mampu dicukupi dengan saling membantu sesama dan dengan ikatan solidaritas tinggi di antara mereka, akhir-akhir ini dengan BLT semakin mencerabut ikatan solidaritas sosial di antara mereka. Angka 100.000 untuk satu bulan ternyata angka yang dianggap banyak oleh penduduk desa. Di sinilah permasalahan utamanya, ketika nominal BLT 100.000 dianggap banyak, apabila terjadi penyelewengan, atau pembagian BLT yang tidak merata, maka akan terjadi letupan-letupan ketidakpuasan, kemarahan dan saling mencurigai sesama penduduk; Kecemburuan terjadi di mana-mana. Dampak dari ketidakmerataan dan banyaknya salah sasaran ini ikatan sosidaritas yang menopang keberlangsungan desa semakin melonggar. Kondisi desa yang dulunya adem-ayem saat ini menjadi panas, yang ada hanyalah pergunjingan, kecurigaan dan rasa bermusuhan sesama masyarakat desa. Hal inilah yang oleh penulis disebut dengan pelapukan desa. Dan untuk kesekian kalinya BLT dapat dianggap sebagai penyakit mewabah yang menghancurkan sendi-sendi persatuan dan solidaritas masyarakat desa..

Mustatho’

Warga Tuban, saat ini aktif di PBHI Jakarta

Alamat, Jl. Legoso Raya, RT. 03/07, No. 28, Pisangan, Ciputat, 15419.

Telp. 021 32678034 (081578785376).

Email.tatok.m@gmail.com

Blog. www.mustathok.blogspot.com

Comments

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN

SOAL UTS Ushul Fiqih