Fikih Humanis


URF DAN BANGUNAN ISLAM HUMANIS
Mustatho’, M.Pd.I

Abstact

Al-Urf bagi sebagian besar ulama’ merupakan landasan bagi penetapan hukum. Hal ini diakui oleh mazhab-mazhab besar seperti kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Hanbaliyah dan Syafi’iyyah. Mereka menggunakan al-‘urf sebagai landasan hukum Islam dalam banyak persoalan. Para imam madzhab bersepakat bahwa hukum yang dibentuk berdasarkan pada al-‘urf bertahan selama al-‘urf masih dipertahankan oleh suatu masyarakat.

Al-urf yang bermakna local wisdom atau kebajikan local (adat) pada tingkatan praksis kemasyarakatan terkait erat dan dipengaruhi oleh factor budaya yang ada di masyarakat hingga kemudian secara operasional al-urf membutuhkan landasan normative agar bisa menjadi landasan hukum. Pertanyaannya apakah semua urf (tradisi) sesuai dengan syari’at Islam?. Meskipun diakui jumhur, Islam sangat menghargai keberadaan al-urf dengan adagium “al-Adah al-Muhakamah”. Artikel ini membahas tentang fungsi al-Urf dalam pembentukan hukum Islam, khususnya dalam konteks ke Indonesiaan.

Key Words: Al-Urf, Relasi Agama-Negara, Paradigma dan Madzhab.
Dalam Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan, Volume 8 No.13 April 2010










A. Pendahuluan

Tarik ulur pemikiran tentang hubungan Negara-Agama telah ada semenjak konstitusi modern memilah antara peran agama dan Negara. Paradigma sekularisme menempatkan pilahan yang sangat tajam antara peran Negara di satu sisi dan peran Agama (Gereja) di sisi lain; garis peran yang tidak bisa didamaikan. Adagium terkenalnya adalah “berikan apa yang menjadi wewenang Gereja ke Gereja dan berikan ke Negara apa yang semestinya diurus Negara”. Namun ditingkatan praksis hal ini sulit terjadi, khusunya dalam konteks ke Indonesiaan. Sebagian masyarakat muslim Indonesia yang tergabung dalam ormas-ormas tertentu seperti HTI, FPI dan JI menghendaki bahwa semestinya agama mengambil peran lebih di dalam kerangka keNegaraan hingga missi agama mampu berperan lebih sebagai pengatur dan tolok ukur bagi kehidupan bernegara. Beberapa kelompok Ormas Islam fundamental ini sampai sekarangan tetap berusaha menegakkan Syariah Islam (Hukum Islam/ Islamic Law) di bumi Nusantara.
Keinginan dari pendirian Negara Indonesia di atas asas Syari’at Islam yang didengungkan oleh ormas Islam fundamental ini kemudian menjadikan persoalan semakin pelik, terlebih perdebatan tentangnya pernah memanas pasca proklamasi 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan berasas Pancasila saat itu telah diterima sebagai kata Final (Notonagoro, 1975: 36-40).

Niatan yang diusung di balik keinginan mendirikan Negara Islam oleh Ormas Islam fundamental di Indonesia ini, menurut penulis ibarat “mengelupas jeruk dengan mengambil kulit dan membuang isinya”. Yang patut dipersolkan tentang penerapan syari’at Islam semestinya adalah pertama aspek subtantif dari hukum Islam itu sendiri, bahwa “syari’ahisasi” yang diwacanakan bisa jadi hanya berperan dalam ranah formal, yang justru menindih peran-peran hukum syar’i yang telah ada dan bisa diterima oleh semua masyarakat meski tanpa penerapan syari’ah Islam secara formal.
Persoalan kedua penerapan syari’ah Islam selalu merujukkan diri pada model Islam di luar konteks budaya bangsa Indonesia sendiri, tepatnya keinginan sebagian ormas Islam fundamental mendirikan syari’ah Islam selalu dengan mempersepsi sama antara Islam Indonesia dengan “Timur Tengahisasi” Indonesia. Hingga kondisi ini secara konsekuensional berimbas pada hilangnya khazanah tradisi umat Islam Indonesia (local wisdom/adat/al-urf) yang ada. Pada hal bila ditelisik dalam sejarah Islam dan nilai ajaran-ajaran agamanya bahwa al-‘Urf merupakan fondasi hukum yang tidak bisa dikesampingkan dalam membangun Islam menapaki puncak kemajuannya.

Dari sini pertanyaanya adalah bagaimana mengolah al-urf menjadi sumber hukum bagi sebuah bangsa khususnya Indonesia dengan tetap berpijak pada syari’ah Islam?. Hingga tradisi (local wisdom) yang ada di Indonesia tidak serta merta dihujat sebagai hal terlarang dan sesat (bid’ah) tetapi justru mampu menjadi semangat pembangun peradaban Islam seperti yang pernah terjadi dalam sejarah emas Islam masa lampau?. Penulis ingat, Islam mempunyai dua adagium populer yang bisa dijadikan hujjah bagi kelangsungan al-urf sebagai sumber hukum; “al-‘adah al muhakamah”, juga “taghayyurul ahkam bi takhayyuril azlam wa makan”

B. Al-‘Urf dalam Pembangunan Hukum Islam
Mayoritas ulama sepakat bahwa sumber utama hukum Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah. Sumber hukum Islam lainnya adalah Ijima, Qiyas dan sumber terakhirnya adalah al-‘urf (Ibrahim Hosen, 1995, 267). Sementara Mahmassani, secara ekplisit menuliskan bahwa sumber hukum Islam hanya meliputi al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas. Mahmassani tidak memasukkan al-‘urf sebagai sumber hukum Islam melainkan memasukkannya sebagai sumber luar dalam pembangunan hukum Islam. Menurut Mahmassani hal ini dikarenakan kehadiran al-urf masih diperselisihkan di kalangan para ulama. Selain al-‘urf sumber hukum lain yang diperselihkan di kalangan ulama adalah istihsan, mashalah al-mursalah, istishhab, syar’u man qablana, dan sadd az-zari’ah (Sobhi Mahmassani, 1981, 5).

Tarik ulur apakah posisi al-Urf sebagai sumber hokum Islam ataukah sekedar pelengkap sumber hokum dapat diacukan dalam praktek sejarah Islam itu sendiri, yakni dalam praktek kehidupan Rasul Muhammad SAW. Menurut Muhammad El-Awa secara historis selama Rasulullah hadir sebagai Legislator Islam di wilayah Makkah maupun Madinah beliau banyak mengadobsi al-‘urf setempat. Sebagian al-‘urf tersebut ditetapkan oleh wahyu al-Qur’an dan Hadits (Muhammad El-Awa, 177-178). Tradisi Arab lain dan tradisi lain dari luar Arab yang ditetapkan dalam al-Qur’an misalnya ibadah haji, puasa, waris, bentuk-bentuk perdagangan (jual beli), khitan, serta konsep kurban.
Praktek adopsi al-Urf Arab pra Islam tentunya tidak serta merta diterima tanpa reserve. Adopsi al-urf ini dilalui dengan merevisi, dan memodifikasi adat yang ada disesuaikan dan didasarkan pada wahyu Allah, terlebih karena ketiadaan pelarangan tentangnya. Namun demikian sebagian al-Urf yang lainnya dibatalkan berdasarkan wahyu dari Allah seperti persoalan riba dan bagaimana memperlakukan kaum perempuan (Ratno Lukito, 2001, 7).

Berpijak pada praktek Rasulullah dalam melakukan tasyri’ al Islam menunjukkan bahwa hukum Islam yang hadir di muka bumi ini tidak serta merta melompati ruang dan waktu hingga tiba-tiba muncul. Sebaliknya Kehadiran hukum Islam –bahkan isi al-Qur’an secara umum pada mulanya –terikat oleh ruang, rentetan waktu dan peristiwa (asbab an-Nuzul) yang melingkupinya. term Illat –alasan hokum yang menyertai dalam penetapan hukum (tasyri’ al-hukmi) misalnya, menjadi bukti nyata bahwa hukum Islam terlahir karena munculnya kausalitas sosiologis-antropologis (Satria Effendi Muh. Zein, 267).

Selain itu ‘rekaman’ sebab-sebab turunnya al-Qur’an (asbab al-nuzul) yang mengiringi wahyu Allah disampaikan kepada Muhammad SAW bukan terlepas dari persoalan sosial kemasyarakatan, sebaliknya sangat terkait erat dengan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Persoalan teologis, ideologis, politis, maupun ekonomis terlibat dengan begitu nyata ketika ayat-ayat tertentu membicarakan hubungan antara umat Islam dengan umat non Islam (Yahudi, Nasrani, Kafir Quraisy, dan Majusi). Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika El-Awa menuliskan bahwa Rasulullah sebenarnya tokoh yang senantiasa menggunakan al-‘urf sebagai sumber hukum (Mohamed El-Awa, 2004).

Meskipun sudah ada al-Qur’an dan Sunnah sebagai pegangan hukum, mengingat begitu pentingnya kehadiran al-‘urf, pun para sahabat, sepeninggalan Rasulullah tidak serta merta menutup diri dan takut untuk mengambil tradisi dan sistem masyarakat lain terutama selama itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah (Nasrun Haroen, 1997, 142). Langkah Rasulullah yang dicontoh para sahabat itu terlihat pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Amir al-Mu’minin ini mengadopsi sistem dan keorganisasian dalam kekhalifahannya sesuai dengan model yang pernah diterapkan oleh penguasa Bizantium (Byzantine). Tampaknya, baik pada lapis pertama (masa Rasulullah) maupun pada lapis kedua (masa sahabat) keberadaan al-‘urf dianggap sebagai salah satu sumber dan landasan pembangunan hukum Islam. Artinya pada periode awal Islam al-‘urf menjadi landasan penting dalam pembangunan hukum.

Pasca zaman sahabat, keterlibatan umat Islam maupun ulama semakin tinggi dan sangat bervariasi dalam penggunaan urf sebagai sember penetapan hukum. Dengan semakin luasnya wilayah Islam yang diperoleh melalui perluasan wilayah Islam yang semakin intentensif, Ulama’ dan para mujtahid harus berhadapan dengan persoalan-persoalan baru yang belum pernah ditetapkan dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah, terutama pada persoalan politik dan hukum. Selain itu sistem pemerintahan teokratis –yang dikembangkan oleh Bani Ummayyah dan Bani Abbasiyyah– tampaknya mempunyai andil yang cukup besar terhadap lahirnya perbedaan paham baik dari segi materi hukum (al-fiqh), metodologi hukum (ushul al-Fiqh) maupun proses pengambilan hukum (istinbat al-hukmi). Perbedaan dalam pandangan ini mempengaruhi pula pada formulasi hukum ulama fiqh maupun ulama ushul al-fiqh dalam memperlakukan al-‘urf sebagai sumber hukum Islam.

Secara umum mazhab-mazhab besar seperti kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Hanbaliyah dan Syafi’iyyah menggunakan al-‘urf sebagai landasan hukum Islam, hanya saja dalam jumlah dan perinciannya mereka berbeda pendapat (Satria Effendi Muh. Zein, 273). Penerimaan al-‘urf sebagai dalil syara’ ini di kalangan para ulama fiqh diperkuat dengan dipakainya urf oleh Imam al-Syatibi (w. 790 H/ ahli ushul fiqh Maliki) dan Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/1292-1350 M/ ahli ushul fiqh Hanbali) (Nasrun Haroen, 142). Imam Malik misalnya dalam memutuskan persoalan fiqhiyah senantiasa menyandarkan pada al-‘urf yang dilakukan oleh masyarakat Madinah. Sikap yang sama dilakukan oleh Imam Syafi’I ketika berada di Mesir dan di Baghdad. Karena al-‘urf di Mesir dan di Baghdad berlainan, Imam Syafi’i pun merubah qaul al-qadim menjadi qaul al-jadid (Abdul Wahhab Khallaf, 135).

Para ulama sepakat menggunakan al-‘urf sebagai landasan atau sumber pembangunan hukum Islam, selain itu mereka juga bersepakat bahwa hukum yang dibentuk berdasarkan pada al-‘urf bertahan selama al-‘urf masih dipertahankan oleh suatu masyarakat. Jika al-‘urf telah berubah, maka kekuatan hukum itu pun juga berubah. Dengan kata lain bahwa ketetapan hukum Islam yang dibangun bersumberkan pada al-‘urf tidak mempunyai ketetapan yang abadi. Konskuensi lainnya adalah ketetapan atas al-‘urf pun tidak bisa diberlakukan di suatu masyarakat yang hidup kemudian, kecuali dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Berikut syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ulama diperbolehkannya al-‘urf sebagai sumber hukum Islam, adalah:
1. Al-‘urf berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakukannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut .
2. Al-‘urf sudah ada sebelum munculnya kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
3. Al-‘urf tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu aqad (transaksi).
4. Al-urf tidak bertentang dengan nash (Nasrun Haroen, 144).
Dengan persyaratan tersebut di atas para ulama memperbolehkan penggunaan al-‘urf sebagai sumber hukum Islam. Tentunya persyaratan tersebut muncul bukan tanpa alasan, tetapi persolan teologis, dan sosio-historis-anthropologis, menjadi pertimbangan utama.
C. Peran al-‘Urf sebagai Wujud Islam Humanis
Seluruh umat Islam di dunia sepakat, Islam –sebagai sebuah sistem nilai suci, paket wahyu dari Tuhan yang sampaikan melalui Nabi Muhammad– bervisi dan berorientasi pada terciptanya rahmat seluruh alam semesta. Namun demikian visi dan orientasi Islam rahmatan lil’alamin (humanis) bisa menjadi runtuh jika wajah Islam direpresentasikan dengan interpretasi paksaan oleh satu kelompok ormas tertentu dengan symbol dan pola kekerasan, seperti fenomena ormas garis keras (fundamental) di Indonesia. Wajah Islam seringkali ditampilkan berwajah garang, keras dan jauh dari kelembutan alih-alih penuh kasih sayang. Mereka yang bersikap lembut dan penuh kasih kepada sesama dan non-muslim dituduh membiarkan dan melindungi golongan yang semestinya dienyahkan.

Niatan menegakkan syari’ah Islam di Indonesia justru ternodai dengan kerangka aksi yang tidak islami, dan aksi praksis yang justru berseberangan dengan ruh dan syari’at Islam. Sehingga Islam muncul bukan sebagai rahmatan li al-‘alamin melainkan mafasadatan li al-‘alamin (kehancuran). Tidak sedikit umat non Islam dan umat Islam menjadi korban dalam kecerobohan yang mengatasnamakan syari’ah tersebut . Oleh karena itu realitas tersebut bisa disimpulkan dengan mudah, bahwa dengan tidak melibatkan kearifan lokal (local wisdom atau al-‘urf) ternyata tidak selamanya niat baik mengarahkan pada akibat yang kondusif dan konstruktif pada kondisi yang ditargetkan.

Di antara ketidakcerdasan mereka dalam men-syari’ah-kan Indonesia adalah memahami materi fiqh sebagai syari’ah yang baku dari Tuhan. Dalam banyak kasus mereka mencoba melakukan “Arabisasi” di semua aspek kehidupan. Langkah-langkah itu tidak disertai dengan kecerdasan sosiologis dan kepekaan anthropologis (al-‘urf al-shahih). Asal tidak sesuai dengan teks-teks nash dan fiqh kelompok ini akan mudah melakukan klaim kafir.

Fenomena mudah menuduh kelompok lain – umat non Islam maupun umat Islam yang tidak sealiran – di kalangan umat Islam menjadi perhatian serius Khaled Abou El-Fadl. Khaled Abou El-Fadl –seorang ahli hukum Islam yang kini tinggal di Amerika Serikat ini menilai umat Islam yang bersikap demikian telah melakukan otoritarianisme, mereka telah mereduksi Tuhan dalam fatwa-fatwa yang mereka keluarkan (Khaled Abou El-Fadl, 2003, 22).

Bila merujuk pada fakta historis masa awal (pada masa Rasulullah dan para sahabat) tasyri’ al-Islam posisi al-‘urf menjadi faktor penting dalam pembangunan hukum Islam, bahkan menjadi pengiring lahirnya wahyu al-Qur’an yang diturunkan melalui Muhammad SAW. Meskipun sejak pasca sahabat dinamika ijtihad hukum di kalangan umat Islam mulai mengurangi proporsi al-‘urf sebagai sumber hukum.

Arti penting al-Urf sebagai sumber hokum Islam selanjutnya karena persoalan perkembangan masayarakat modern dan pos modern dewasa ini, dimana banyak persoalan yang harus dihadapi oleh umat Islam, baik secara individual maupun kelompok. Tegasnya, ke depan peran al-‘urf sebagai sumber dalam pembangunan hukum Islam sangat signifikan. Munculnya persoalan-persoalan kontemporer seperti humanism, human right, democratization, pluralism, gender equal, cross-cultural, inter-religious faith, religion and science issues, and multiculturalism, akan sangat sulit diselesaikan dengan tanpa melibatkan al-‘urf sebagai perangkat hukkum dan sekaligus sumber hukum Islam sendiri.

Langkah-langkah yang telah ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabat dalam menggunakan al-‘urf sudah saatnya dihidupkan kembali jika Islam tidak terlihat berwajah bengis dan kejam. Berbekal al-urf –dengan pendekatan sosiologis, anthropologis, phenomenologis, dan hermeneutis, Islam harus senantiasa melakukan negosiasi dalam merespon persoalan-persoalan yang terus berkembang.
Tampaknya, dengan bekal kecerdasan dan kepekaan dalam melakukan pembacaan terhadap al-‘urf visi dan orientasi Islam rahmatan li al-‘alamin bisa terus dikembangkan. Sebaliknya bila al-‘urf dianggap sebagai suatu nilai dan ajaran yang tidak Islami, maka Islam tidak lebih sebagai ajaran kaum sofis yang tidak pernah membumi. Dengan kata lain melalui pembacaan yang intensif terhadap al-‘urf, Islam berwajah lembut dan penuh kasih segera dapat menjadi kenyataan.
D. Penutup dan Rekomendasi
Berpijak pada penjelasan di atas, maka penulis memahami bahwa sumbangan al-‘urf dalam pembangunan hukum Islam sangat signifikan, terutama dalam melakukan pembacaan dan pembangunan hokum yang humanisa dan bisa melingkupi semua kepentingan yang ada di dunia. Sumbangan penting yang bisa diambil dari al-‘urf itu adalah pertama al-‘urf – sebagaimana yang dilakukan oleh para fuqaha dalam mengembangkan hukum Islam – bisa menjadi ujung tombak pembangunan hukum Islam yang akomodatif. Karena al-‘urf – yang berarti kepantasan atau kepatutan – senantiasa mengkompromikan pada nilai-nilai luhur al-Qur’an dengan fakta yang ada di tengah masyarakat Indonesia.
Kedua Hukum Islam tidak akan bisa berkembang dan membaca kebutuhan zaman jika tanpa mempertimbangkan secara serius realitas al-‘urf di mana pun hukum Islam itu ditegakkan. Disadari atau tidak banyak kearifan lokal (local wisdom) di kalangan masyarakat mempunyai bobot nilai serta kualitas yang sama dengan makna yang diajarkan dalam al-Qur’an maupun al-Hadis. Oleh karena itu, menghormati al-urf – dengan berbagai argumentasi kepantasan dan kemaslahatan – sama dengan menjunjung tinggi al-Qur’an dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dengan kata lain, sudah sepantasnya umat Islam menjadikan al-‘urf sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an dan al-Sunnah.
Sementara dalam memperkuat penggunaan dan arti penting al-Urf sebagai sumber hukum Islam ini, umat Islam ke depan mempunyai agenda penting. Agenda terkait al-Urf ini adalah pertama sudah semestinya perdebatan tentang al-‘urf di kalangan para ahli hukum Islam dihentikan, agar hukum Islam mampu menjadi acuan realisasi dari visi Islam di dunia ini yakni rahmat al-‘alamin. Mengingat perdebatan tentang al-‘urf hanya akan mempersempit wacana dan pesona rahmat li al’alamin yang dimiliki Islam. Kedua, harus ada gerakan massal di kalangan ahli hukum untuk memberi penjelasan kepada orang-orang yang menolak al-‘urf sebagai sumber maupun metode hukum Islam. Dengan melakukan perluasan informasi tentang pentingnya al-‘urf dalam pembangunan hukum Islam, maka rahmat li al-‘alamin bukan hanya sebuah ilusi, melainkan realitas nyata.














DAFTAR PUSTAKA
Basyir, Ahmad Azhar, Pokok-pokok Ijtihad dalam Hukum Islam, dalam Jalaluddin Rahmat, ed., Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1996), cet., ke-4.
El Fadl, Khaled Abou, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Wowen” terj., Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi, 2003).
El-Awa, Mohamed, the Place of Custom (‘Urf) in Islamic Legal Theory, Sumber Utama dari Makalah A. Minhaji 2004.
E., Susan Rayner the Theory of Contracts in Islamic Law: a Comparative analysis with Particular Reference to the Modern Legislation in Kuwait, Bahrain and United Arab Emirates, (London: Graham & Trotman Ltd, 1991).
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, cet., ke-2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997).
Hosen, Ibrahim, Beberapa Catatan Tentang Reaktulisasi Hukum Islam, dalam Muhammad Wahyuni Nafis, Kontektualisasi Ajaran Islam, cet., ke-1. (Jakarta: Paramadina, 1995).
Khallaf, Abdul Wahhab, al-Siyasi al-Syar’iyyah (Cairo, 1977).
----------------------------, Ilmu Ushul al-Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Barsany, (Jakarta, 1996).
Lukito, Ratno, Islamic Law and Adat Encounter: the Experience of Indonesia, cet., ke-1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001).
Mahmassani, Sobhi, Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam, terj., Ahmad Sudjono, SH., cet., ke-2 (Bandung: al-Ma’arif, 1981).
Zein, Satria Effendi Muh., Ushul Fikih, dalam Taufik Abdullah, at. al., ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid III (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve).

Comments

samsulbahri said…
Oke juga catatanmu ini kawan, It is a good article.. seem you have raised your talent of writing.

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN