KHUTBAH
MEMERANGI HAWA NAFSU
Jihad seorang hamba dalam memerangi hawa nafsu adalah jihad yang paling sempurna, Allah U berfirman:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)” (An-Nazi’at: 40-41)
Menurut Imam Ghazali, di balik kelebihannya, manusia sejatinya makhluk yang sangat lemah dan mudah terombang-ambing oleh hiruk pikuk dunia yang sering menipunya dan karena manusia sering dikuasi oleh nafsunya. Nafsu demikian sering menjerumuskan manusia ke liang kehancuran.
(Q.S An-Nisa 28)
“dan manusia dijadikan bersifat lemah”.
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah” (Q.S. Al-Maarij 19).
Karena itu, menurut Imam Ghazali sebagaimana ditulis dalam Ihya’ Ulumiddin, ada tiga hal yang dapat menyelamatkan manusia agar selamat dan terhindar dari bujuk rayu nafsu adalah: (1) akal, (2) ilmu, dan (3) ma’rifat.
1. Akal:
Pentingnya akal bagi manusia sampai-sampai Nabi Muhammad Rasulullah SAW pernah bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Darda’: “bahwa jika ada dua orang lelaki yang sama-sama amal perbuatannya, kebaikannya, puasa dan shalatnya, maka, kata Nabi, mana di antara keduanya yang lebih baik akalnya”. Maksud hadits tersebut ialah amal sholeh seorang bisa sama dengan yang lain, tapi akalnya pasti berbeda. Perbedaan akal itu yang menentukan tinggi dan rendahnya derajat kemanusiaannya. Dengan demikian, akal merupakan nikmat tersendiri bagi manusia. Karena itu sungguh sayang jika dalam hidupnya manusia tidak menggunakan dan memanfaatkan nikmat tersebut sebaik-baiknya.
2. Ilmu:
Selain akal, manusia dibekali ilmu agar bisa menjalankan hidup yang bermartabat. Apa yang dimaksudkan dengan ilmu ialah seperangkat pengetahuan yang dipakai manusia untuk menempuh jalan kehidupan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah, bukan sebaliknya menjadi jauh dari Allah. Akal dan ilmu menjadi satu rangakaian modalitas manusia. Sebab, karena akalnya manusia bisa mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan untuk kemudahan hidupnya. dalam hal pencapaian dan penguasaan ilmu pengetahuan, saat ini manusia telah sampai pada derajad yang sangat tinggi. Berbagai penemuan baru dalam ilmu pengetahuan menandai abad ini sebagai abad ilmu pengetahuan. Namun demikian, sehebat apapun keilmuan seseorang toh belum mampu mengungkap misteri di balik semua penciptaan Allah. Perhatikan saja bagaimana para astronom selalu penasaran dengan benda-benda di ruang angkasa. Sebab, setiap ada penemuan baru selalu diikuti dengan fenomena baru yang menantang mereka untuk terus melakukan penyeledikan ilmiah. Di bidang-bidang yang lain juga terjadi fenomena yang sama.
3. Ma’rifat
Selain akal dan ilmu, menurut Imam Ghazali ada satu prasyarat agar manusia tidak tertipu dalam hidupnya, yaitu ma’rifat. Yang dimaksudkan dengan ma’rifat adalah kemampuan untuk mengenal empat hal: dirinya sendiri, Tuhannya, dunia, dan akhirat.
3.a.Mengenal diriya sendiri artinya mengetahui apa hakikat hidup bagi dirinya, untuk apa hidup, dan bagaimana menjalankan hidup sebagai hamba Allah. Mengenal dirinya termasuk pula mengetahui kelemahan dan keterbatasannya. Sebagai hamba Allah, manusia wajib mengenal Tuhannya, sehingga dia berbakti dengan menjalankan semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya. Dengan demikian, orang yang tidak menjalankan perintah Tuhan dan apalagi suka melanggar perintahnya berarti dia tidak mengenal Tuhan yang telah menciptakannya.
Sedangkan mengenal dunia dan akhirat berarti mampu menjalankan roda kehidupan dengan memilih mana yang prioritas dan mana yang hanya untuk kepentingan sesaat. Imam Ghazali mengibaratkan manusia di dunia ini bagaikan musafir. Karena sebagai musafir, maka dia tidak kekal. Dia bepergian menuju sebuah tempat, dan tempat itu adalah akhirat. Itulah kehidupan yang sesungguhnya karena tidak ada batas akhirnya. Karena itu, manusia beruntung dalam pandangan Imam Ghazali adalah yang mampu menempatkan kehidupan akhirat melebihi prioritas kehidupan dunia yang bagaikan musafir itu.
Mengenal kehidupan akhirat menjadikan manusia cinta beramal sholeh dan berbuat kebajikan serta tumbuh rasa cinta kepada Tuhannya. Imam Ghzali tidak menggunakan istilah takut, tetapi cinta kepada Tuhan. Sebab, rasa takut akan berakibat seseorang menjauh. Tetapi rasa cinta menjadikan manusia selalu ingin dekat dengan Tuhannya. Manusia yang tekun beribadah dalam pandangan Imam Ghazali berarti berkobar rasa cintanya pada sang pencipta, Allah swt. Semakin manusia cinta kepada Tuhannya, semakin dia ingin selalu dekat kepadaNya. Dan, sebaliknya.
MEMERANGI HAWA NAFSU
Jihad seorang hamba dalam memerangi hawa nafsu adalah jihad yang paling sempurna, Allah U berfirman:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)” (An-Nazi’at: 40-41)
Menurut Imam Ghazali, di balik kelebihannya, manusia sejatinya makhluk yang sangat lemah dan mudah terombang-ambing oleh hiruk pikuk dunia yang sering menipunya dan karena manusia sering dikuasi oleh nafsunya. Nafsu demikian sering menjerumuskan manusia ke liang kehancuran.
(Q.S An-Nisa 28)
“dan manusia dijadikan bersifat lemah”.
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah” (Q.S. Al-Maarij 19).
Karena itu, menurut Imam Ghazali sebagaimana ditulis dalam Ihya’ Ulumiddin, ada tiga hal yang dapat menyelamatkan manusia agar selamat dan terhindar dari bujuk rayu nafsu adalah: (1) akal, (2) ilmu, dan (3) ma’rifat.
1. Akal:
Pentingnya akal bagi manusia sampai-sampai Nabi Muhammad Rasulullah SAW pernah bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Darda’: “bahwa jika ada dua orang lelaki yang sama-sama amal perbuatannya, kebaikannya, puasa dan shalatnya, maka, kata Nabi, mana di antara keduanya yang lebih baik akalnya”. Maksud hadits tersebut ialah amal sholeh seorang bisa sama dengan yang lain, tapi akalnya pasti berbeda. Perbedaan akal itu yang menentukan tinggi dan rendahnya derajat kemanusiaannya. Dengan demikian, akal merupakan nikmat tersendiri bagi manusia. Karena itu sungguh sayang jika dalam hidupnya manusia tidak menggunakan dan memanfaatkan nikmat tersebut sebaik-baiknya.
2. Ilmu:
Selain akal, manusia dibekali ilmu agar bisa menjalankan hidup yang bermartabat. Apa yang dimaksudkan dengan ilmu ialah seperangkat pengetahuan yang dipakai manusia untuk menempuh jalan kehidupan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah, bukan sebaliknya menjadi jauh dari Allah. Akal dan ilmu menjadi satu rangakaian modalitas manusia. Sebab, karena akalnya manusia bisa mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan untuk kemudahan hidupnya. dalam hal pencapaian dan penguasaan ilmu pengetahuan, saat ini manusia telah sampai pada derajad yang sangat tinggi. Berbagai penemuan baru dalam ilmu pengetahuan menandai abad ini sebagai abad ilmu pengetahuan. Namun demikian, sehebat apapun keilmuan seseorang toh belum mampu mengungkap misteri di balik semua penciptaan Allah. Perhatikan saja bagaimana para astronom selalu penasaran dengan benda-benda di ruang angkasa. Sebab, setiap ada penemuan baru selalu diikuti dengan fenomena baru yang menantang mereka untuk terus melakukan penyeledikan ilmiah. Di bidang-bidang yang lain juga terjadi fenomena yang sama.
3. Ma’rifat
Selain akal dan ilmu, menurut Imam Ghazali ada satu prasyarat agar manusia tidak tertipu dalam hidupnya, yaitu ma’rifat. Yang dimaksudkan dengan ma’rifat adalah kemampuan untuk mengenal empat hal: dirinya sendiri, Tuhannya, dunia, dan akhirat.
3.a.Mengenal diriya sendiri artinya mengetahui apa hakikat hidup bagi dirinya, untuk apa hidup, dan bagaimana menjalankan hidup sebagai hamba Allah. Mengenal dirinya termasuk pula mengetahui kelemahan dan keterbatasannya. Sebagai hamba Allah, manusia wajib mengenal Tuhannya, sehingga dia berbakti dengan menjalankan semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya. Dengan demikian, orang yang tidak menjalankan perintah Tuhan dan apalagi suka melanggar perintahnya berarti dia tidak mengenal Tuhan yang telah menciptakannya.
Sedangkan mengenal dunia dan akhirat berarti mampu menjalankan roda kehidupan dengan memilih mana yang prioritas dan mana yang hanya untuk kepentingan sesaat. Imam Ghazali mengibaratkan manusia di dunia ini bagaikan musafir. Karena sebagai musafir, maka dia tidak kekal. Dia bepergian menuju sebuah tempat, dan tempat itu adalah akhirat. Itulah kehidupan yang sesungguhnya karena tidak ada batas akhirnya. Karena itu, manusia beruntung dalam pandangan Imam Ghazali adalah yang mampu menempatkan kehidupan akhirat melebihi prioritas kehidupan dunia yang bagaikan musafir itu.
Mengenal kehidupan akhirat menjadikan manusia cinta beramal sholeh dan berbuat kebajikan serta tumbuh rasa cinta kepada Tuhannya. Imam Ghzali tidak menggunakan istilah takut, tetapi cinta kepada Tuhan. Sebab, rasa takut akan berakibat seseorang menjauh. Tetapi rasa cinta menjadikan manusia selalu ingin dekat dengan Tuhannya. Manusia yang tekun beribadah dalam pandangan Imam Ghazali berarti berkobar rasa cintanya pada sang pencipta, Allah swt. Semakin manusia cinta kepada Tuhannya, semakin dia ingin selalu dekat kepadaNya. Dan, sebaliknya.
Comments