Posts

PANCASILA YANG SEMAKIN LUPA DIRI

Image
Judul di atas bukanlah sarkasme terhadap Pancasila sebagai pandangan Hidup bangsa Indonesia. Namun justru judul di atas bermasksud mendemarkasi antara Pancasila yang sejati (dengan penulisan P besar) dengan paham pancasila yang mengatasnamakan Pancasila, entah paham tersebut yang dihembuskan oleh pemegang kekuasaan dengan tafsir politik pancasilanya atapun pihak-pihak yang mencoba melegitimasi status dengannya. Mencermati berbagai kejadian seputar Pancasila akhir-akhir ini, bangsa Indonesia dituntut untuk berpikir ulang sembari menerawang jauh ke belakang; bagaimanakah proses lahirnya Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara?. Dari hasil penerawangan tersebut tentunya setiap pribadi akan memiliki kesimpulan sendiri-sendiri, yang tidak semestinya dipertentangkan dengan istilah "salah dan benar", karena semuanya berlari seputar subyektifikasi Pancasila ke dalam pemahaman seseorang dan objektifikasi subjektifitas (pemahaman) seseorang ke dalam ranah objektif. Dan semuanya ad

PELUANG MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA

posted in Duta Masyarakat, 24 Januari 2008, by Mustatok Kalau kita mengaku sebagai bangsa Timur, yang berbudaya Timur, apakah yang kurang pada diri kita? Kenapa topangan etis yang selalu kita dengung-dengungkan "bangsa yang bermoral", "bangsa yang menghargai jasa pahlawan" tidak mampu mensejahterakan bangsa ini? Budaya timur yang kita junjung –kalau kita kritis, hanya di Indonesia sajalah yang tidak terimplementasi dengan baik. Kasus Cina, Malaysia, Singapura, bisa bangkit dengan begitu cepatnya ketika terlanda krisis, kenapa Indonesia tidak?. Jawabannya adalah karena kondisi pendidikan mereka yang maju. Namun jawaban inipun melahirkan pertanyaan; bagaimana kondisi pendidikan mereka bisa maju? Penghargaan terhadap profesi guru inilah yang selama ini menjadi pemicu utama kemorosotan dunia pendidikan kita. Padahal profesi ini begitu mulia dan terhormat, sebab bagaimanapun ketika seseorang menjadi guru atau dosen berarti dia memiliki potensi yang berbeda dengan orang

LANGKAH MUNDUR PENDIDIKAN DI INDONESIA

Mustatho'*) Tetap saja, pendidikan di Indonesia tidak menemukan apa yang seharusnya menjadi haknya. Pendidikan diuyo-uyo. Apalagi setelah keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 20 Pebruari 2008. Pendidikan yang seharusnya menjadi satu tujuan ideal kemerdekaan bangsa ini, seperti terekam dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV "….dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia….", seakan tidak bermakna, amanah bangsa ini tidak lagi bertaji, alih-alih keramat dan dianggap penting. Pendidikan di Indonesia tidak pernah bakal menemukan momentum untuk berbenah diri. Sebenarnya, pendidikan di Indonesia pernah mengalami kemajuan yang luar biasa didaratan Asia, utamanya di ASEAN. Guru-guru dari Indonesia banyak diminta oleh Negara-negara sahabat. Bangsa Indonesia saat itu dapat berbangga diri karena mampu 'mengekspor' tenaga terdidiknya. Bagaimana dengan sekarang? Apa yang dapat dibanggakan

meaningfuly live

Mari Hidup lebih sempurna, indah dengan estetika, cerdas dengan humanitas, dan damai dengan hati; saling berkasih-sayang.

Merajut Kembali Kejayaan Kemanusiaan

Mewaspadai Pelapukan Guru Pentingnya Kritisisme terhadap UU ‘Pensejahteraan’ Guru Mustatho' [1] Dengan lahirnya UU SISDIKNAS 2003 dan 'dimanjakannya' Guru dengan UU RI No 14 tahun 2005 seakan melambungkan profesi guru melebihi profesi-profesi lain. Guru menjadi hal penting setelah sekian lama dilupakan. Guru menjadi atribut yang paling menawan setelah sekian lama tidak diindahkan. Siapa yang sekarang tidak bangga menjadi seorang guru? Setiap orang tua saat ini akan membanggakan dan mengarahkan anaknya untuk menjadi seorang guru. Namun apakah persoalan tentang guru dan pendidikan selesai dengan topangan hukum UU SISDIKNAS 2003 dan UU RI No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen?. Dengan tidak meneliti sedetail mungkin, UU SISDIKNAS 2003 dan UU RI No 14 tahun 2005 tahun tentang Guru dan Dosen, kita akan terpasung dalam ujaran ‘sempurna!’ dan ‘final!’ untuk menilai UU ini. Picik pikir yang demikian akan menjadikan penilaian selesai sebatas guru dan dosen telah mengalami pening