MENGUARAI BENANG KUSUT PENDIDIKAN DI INDONESIA

(Duta Masyarakat, kamis 12 Juli 2007)

Gambaran betapa pentingnya pendidikan bagi sebuah bangsa telah digambarkan dengan apik oleh kaisar Jepang ketika perang dunia II terjadi. Jepang yang waktu itu mengalami kekalahan total dengan dihancurkannya Herisimo dan Nagasaki oleh sekutu dengan bom atumnya. Kaisar jepang pada waktu itu tidak mengeluhkan berapa kekalahan yang dialami oleh tentara mereka, ataupun menanyakan berapa tentara yang tersisa, namun justru kaisar Jepang menanyakan berapa guru Jepang yang masih ada. Sebuah gambaran pemahaman yang mendalam akan arti penting pendidikan untuk kemajuan bangsa. Bagaimana dengan Indonesia?
Diakui atau tidak, potret pendidikan kita masih terlihat buram dan memprihatinkan. Sebenarnya, ada apa dengan pendidikan kita? Apakah anggaran berpengaruh secara signifikan terhadap pembangunan pendidikan kita? UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 29 menyebutkan: “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negera (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Anehnya, amanah kosntitusi kita di atas masih belum mampu direalisasikan baik oleh pusat ataupun daerah. Kemana APBN dan APBD tiap daerah? Apakah yang akan terjadi jika untuk kepentingan yang jelas sangat urgennya pemerintah tidak mampu melaksanakan, bagaimana dengan amanah yang lain? Seperti mengatasi angka pengangguran yang semakin meningkat, pemerosotan perekonomian, baik makro ataupun mikro. Yang kesemuanya adalah bermuara pada pendidikan kita. Akankah negara kita mampu bangkit tanpa kondisi pendidikan yang layak? Sebagai pembanding: APBN, pada tahun 2002 pemerintah hanya menganggarkan sektor pendidikan Rp. 11.552 triliun; tahun 2001 sebesar Rp. 11,5 triliun, dan pada tahun 2000 anggaran pendidikan sebesar Rp. 11,3 triliun yang semuahnya kurang dari 10% versi perhitungan pemerintah. Sementara anggaran progresif pendidikan 20% dari APBN sesuai UU No.36 tahun 2004 tentang APBN TA 2005 dan UU No.13 tahun 2005 tentang APBN TA 2006 hanya dapat direalisasikan secara bertahap sampai tahun 2009. Untuk 2004-2005 sebesar 6,6%, 2005-2006 sebesar 9,29%, 2006-2007 sebesar 12,01%, 2007-2008 sebesar 14,68%, 2008-2009 sebesar 17,40%, dan 2009-2010 sebesar 20,10%.
Pada sisi lain, problem pendidikan adalah peningkatan dan pengembangan pemberdayaan pendidikan belum menampakan hasil yang diinginkan. Pembangunan pendidikan sekedar nampak pada bangunan fisik saja. Sementara, tingkat pengembangan sumber daya manusia (SDM) belum mencapai kemajuan yang signifikan, guru tidak menunjukkan peningkatan peran, masih banyak anak yang terlantar pendidikannya. Demikian juga masalah pemerataan pendidikan tampaknya perlu dikonsepkan kembali agar memiliki implikasi keadilan. Sebab, masyarakat tidak akan pernah terpenuhi rasa keadilannya, manakala pemerataan pendidikan sebatas pada kesempatan untuk masuk sekolah. Tetapi, rasa keadilan akan terwujud jika setiap siswa memperoleh kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, walaupun mereka datang dari keluarga yang berbeda-beda kemampuan ekonominya (educational of quality for all).
Pada dasarnya pendidikan bukanlah tanggung jawab pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat secara parsial, tetapi merupakan tanggung jawab kolektif. Sebab, pendidikan adalah hak dan milik bersama. Tidak ada manusia atau istitusi yang berhak memonopoli pendidikan. Siapa saja berhak mendidik dan dididik, mengajat dan diajar. Namun demikian Pemerintah sebagai pengambil kebijakan umum pendidikan harus memulainya dari adanya political will dengan menjamin pemerataan kesempatan bagi seluruh anak dan semua lapisan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Peran ini bisa dilakukan melalui perumusan kebijakan umum, pelayanan teknis, dan memonitor program secara regular.
Menurut penulis, ada beberapa pemikiran yang dapat dijadikan pertimbangan sebagai solusi. Pertama, pemerintah sebagai pengambil kebijakan pendidikan, sudah sepatutnya menanggung biaya minimal pendidikan yang diperlukan anak usia sekolah/madrasah tingkat dasar dan lanjutan baik negeri maupun swasta yang diberikan secara individual kepada siswa. Dan dana yang diperoleh dari masyarakat dapat digunakan untuk membiayai kegiatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Kedua, adanya optimalisasi sumber daya manusia pendidikan yang sudah tersedia, antara lain melalui pelaksanaan double shift, pemberdayaan sekolah lanjutan terbuka dan pembukaan kelas jauh, tanpa mengorbankan mutu pendidikan dan mengganggu kelangsungan hidup sekolah-sekolah swasta di sekitarnya. Ketiga, sekolah-sekolah swasta hendaknya diberdayakan potensinya melalui bantuan dan subsidi dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran siswa dan optimalisasi daya tampung yang tersedia. Ke-empat, daerah-daerah yang membutuhkan pembangunan gedung sekolah baru dan ruang kelas baru hendaknya diprioritaskan untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Tetapi disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing, sehingga tidak menyingkirkan keberadaan sekolah-sekolah swasta yang ada. Kelima, memberikan perhatian khusus bagi anak usia sekolah dari keluarga miskin, masyarakat terpencil, kumuh dan masyarakat daerah yang sedang mengalami konflik dan bencana alam; dengan memberikan beasiswa pendidikan kepada mereka. Ke-enam, meningkatkan partisipasi anggota masyarakat dan pemerintah daerah untuk ikut serta menangani penuntasan wajib belajar (wajar) 9 tahun.
Kepedulian kita bersama akan arti penting pendidikan yang bermutu akan mengantarkan Indonesia menuju Indonesia baru yang lebih bermartabat di mata dunia.
*Kandidat Magister Pendidikan Islam di IAIN Sunan Ampel Surabaya, ia adalah alumnus UIN Sunan Kalijaga, sekarang Aktif di P2I (Pusat Pengembangan Intelektual) PPS IAIN Sunan Ampel.
Domisili : PPM Al-Jihad, Jemursari Utara III/9 Surabaya
Hp. 081578785376.

Comments

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN

SOAL UTS Ushul Fiqih