PERJALANAN HIDUP MUSTATHO’


Masa Kecil (Mulai Berjalan)
Tulisan pertama dari sejarah Panjang Kehidupan saya

Telah aku hitung, dengan hitungan manusia, usiaku kini tepat 28 tahun pada tanggal 24 Mei 2008 yang lalu. Ak dilahirkan dengan normal pada malam menjelang Isya’ hari Ahad Legi malam Senin Kliwon dari seorang keluraga yang begitu mendambakan lahirnya seorang anak lelaki. Semua keluargaku mengharap demikan, kakak-kakak Perempuanku semuanya mengharap demikian. Terlebih Ayah, dan Ibuku. Ayah memulai usia 4 bulan kehamilan Ibu dengan berbagi empati, walaupun yang berjuang gigih membawa calon bayi (aku) adalah Ibu, Ayah pun turut berjuang dengan “lelaku” dan Riyadlah. 4 hari menjelang kelahiranku dada Ayah terserang keanehan yang belum pernah dialaminya, dadanya terasa sesak dan pilu.
Tanda ini disikapi ayah dengan bijak, bahwa mungkin jelas baginya yang terlahir nanti adalah seorang bayi yang selama ini dinanti-natinya. Bahwa aku 5 bersaudara, dan hanya aku yang satu-satunya laki-laki nanti akan diterangkan secara simultan dalam tulisan ini. Aku terlahir dengan rentang waktu kelahiranku yang ditunggu sekitar 7 tahunan. Aku sendiri di dalam perut Ibuku 9 bulan sepuluh harian –waktu yang tidak dapat disangsikan arti ketabahan seorang Ibu. Setelah suka-cita menyambut kelahiranku, layaknya orang tua lain, tentu lebih senang dengan melihat anaknya yang telah dua bulan lahir menunjukkan tanda kemampuan adaptif pada lingkungan sekitarnya. Tiga bulan berjalan aku seperti bayi-bayi normal yang lain, menyantap susu hangat ASI, makan Pisang “lotek” dan mulai sedikit bersuara. Hanya satu yang belum terlihat sampai kemudian terbukti setelah usiaku lewat 1 tahunan, aku belum bisa berjalan. Aku hanya suka “ngesot” untuk dapat menjangkau setiap sudut rumahku.
Bapak, Ibu, Kakek, Nenek dan Kakak-Kakak Perempuanku atau mungkin juga tetangga-tetanggaku semuanya berusaha dengan pikiran, kemampuan dan pengetahuan mereka tentang membangkitkan minat berjalan pada diriku. Solusi-solusi kesehatan sampai mitos tentang memulai berjalan pada diri anak telah mereka turuti namun hasilnya nol. Aku masih ingat ketika nenekku bercerita bahwa disetiap saat dan tempat ketika aku ada di sana, kebetulan ditemukan rumah rayap yang berdiri sendiri –aku lupa apa namanya, selalu diambilkan untukku dan dioleskan pada kaki sampai lututku, dengan filosifi, eksistensi tanah berdiri akan beralih kepadaku.
Banyak Tabib telah didatengi keluargaku juga, kali ini ayahku yang cerita; suatu saat atas saran tetangga-tetanggaku, ayah beserta keluarga membaku ke Tabib (Kiyai) di daerah Lajo (kecamatan) sebelah barat daya kabupaten Tuban yang memang sudah diketahui “alim” pengetahuan agama dan sering dimintai tolong oleh penduduk sekitar. Pak Yai yang sekaligus Tabib ini menyarankan untuk memberikan aku hati unta sebagai menu makanku. Saranku inipun dilakukan dengan tanpa bantahan oleh keluargaku –saya percaya karena memang harapan mereka hanya satu yakni melihatku bisa berdiri dan berjalan. Namun setelah usia hampir dua tahun aku belum juga bisa berdiri apalagi berjalan, tapi ada kemajuan aku mulai merangkak.
Pembaca yang budiman, harapan yang disertai usaha yang gigih dan doa yang tidak putus-putusnya adalah ikhtiar yang mesti terus dilakukan, karena nilai dari setiap hamba-Nya ditentukan dari kesungguhan ini. Dengan tidak putus asa dan kesabaran yang selaksa dari keluargaku. Waktu itu, sore setelah aku dimandikan, nenekku minta giliran menimangku, dengan tetap berusaha, aku diletakkan oleh beliaunya ke lantai rumah. Sebagai anak kecil aku mungkin belum tahu apa sebenarnya yang diharapkan oleh keluargaku selama ini, mungkin menurutku waktu itu, dengan mengajakku kesemua tempat –pada hal untuk terapi berdiriku, aku mengartikan memang mereka senang mengajakku bermain.
Saat itu, sore setelah mandi, masih dilantai rumahku melintas seekor kucing. Aku gak tau sejak kapan aku suka membawa uang receh, logam seratus rupiah (Rp. 100 yang besar), yang jelas uang logam tersebut jatuh dari tanganku –entah kanan atau kiri, dan menggelinding ke arah kucing yang melintas adi depanku. Reflek! Reflek! Semuanya reflek, nenekku tiba-tiba terlontar kata-kata –yang disadarinya belakangan bahwa aku belum bisa berjalan, “Ayo le gudak duwite, duwite arep dipek kucing” (ayo nak, berdiri, kejar uang kamu, uangmu hendak diambil kucing itu). Aku pun dengan reflek dan entah dapat keberanian berdiri dari mana, aku mulai berdiri, namun sebentar, dan aku jatuh lagi. Nenek, dan orang-orang disekitarku saat itu langsung terpaku dan sekian perdetik tidak percaya “lho...lho..., Tatot mau ngadek” hampir serempak orang-orang bergumam. Keluargaku yang sebagian tidak tahu berteriak dari dalam rumah “opo.., opo.., ono opo?”. Gaduhpun tidak terhendari, “Tatok iso ngadek, Tatok iso ngadek mau!”. Yang lain masih dalam eforia senang dan kegaduhan, sementara aku menangis karena gak paham apa yang mereka lakukan. Yang aku mengerti dengan hayal tangkapku saat itu adalah “mereka berisik dan ribut” yang mengkagetkan aku, sehingga aku menangis, dan menangis, terus menangis, entah dengan cara apa aku dihentikan dari tangisku. Yang jelas kemudian adalah keluargaku tetap tiada henti membimbing aku berjalan, dan keberanianku untuk berdiri semenjak itu terbangun. Aku mulai bisa berjalan sikat umur 2,5 tahun. “Harga yang mahal untuk sebuah keberanian”, semoga menginspirasiku berbuat dan bertindak kepada hal besar. Yang utama adalah jangan pernah takut untuk memulai dan jangan pernah patah arang dalam prosesnya.

(Masa Sekolah Dasar)
Bersambung..........

Comments

Anonymous said…
wah, masa kecilnya bisa jadi cerpen ini.... he 3x

Popular posts from this blog

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) PSIKOLOGI PENDIDIKAN

SOAL UTS Ushul Fiqih